gaulku gaulmu

Selasa, 05 Desember 2017

Perlukah Indonesia Berubah Menjadi Indonistan?



Sejarah panjang kelahiran Indonesia di bumi Nusantara ini tidak lain dan tidak bukan adalah jerih payah pahlawan perjuangan. Pencetak sejarah penting dibacakannya teks proklamasi oleh beliau bapak Soekarno, teriakan kemerdekaan dari segenap rakyat Indonesia, terbentuknya sang garuda sebagai lambang negara, terbangnya bendera merah putih di angkasa dan tersusunnya teks pondasi negara Indonesia Pancasila adalah jasa para pejuang.
            Bulan Oktober diyakini seluruh umat Indonesia sebagai hari kesaktian pancasila. Pancasila disusun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mulanya, nama pancasila adalah piagam Jakarta. Oleh karena banyaknya nego dan buah pikiran lain, akhirnya kesepakatan perubahan nama menjadi “pancasila” disepakati.
            Tidak hanya perubahan nama, sila pertama pancasila juga masih menjadi sorotan publik. Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dipandang hanya dilihat dari sisi demografis. Jika dilihat dari sisi geografis seperti Indonesia Timur, maka komposisinya berbeda. Intinya, sila pertama dianjurkan untuk tidak terlalu beratmosefer Islam. Tidak bisa dipungkiri Indonesia adalah sebuah gugusan kepulauan Sabang sampai Merauke yang tidak bisa menghakimi kepercayaan seenak jidatnya sendiri. Jadilah diambil keputusan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Harapan dan doa sila pertama dapat berkamuflase dengan baik pada setiap kepercayaan.
            Sangat disayangkan, beberapa pekan ini tidak jarang didengar banyak isu berbalut agama. Hampir segala isu yang beredar dihidangkan dengan kemasan agama yang sangat menarik. Agama Islam juga menjadi salah satu bungkus pemanis dari beberapa hidangan. Pasalnya, kebanyakan manusia akan membeli produk yang berbalut agama. Konflik sara sangat laku terjual. Bermula dari politik hingga diskriminasi, semua disajikan dalam kemasan satu produsen yaitu “agama”.
            Di media sosial masih saja gencar dikabarkan isu penistaan agama beberapa pekan lalu. Di Indonesia sendiri, isu penistaan agama masih saja menjadi bahan perbincangan yang ramai. Teroris pembunuh dan pemenggal kepala seperti Santoso dan Imam Samudera juga dielu-elukan dan dianggap sebagai pahlawan agama yang konon mayatnya berbau wangi. Sepertinya para penghafal al-Qur’an mulai mempunyai saingan, pikirku.
            Nyatanya tidak hanya di Indonesia, sebuah situs sosial media menjelaskan Pakistan adalah negara paling mabok agama sedunia. Sebagai gambarannya, banyak terjadi peristiwa pembunuhan yang sadis dan konyol hanya karena sikap fanatisme dalam beragama. Salah satu yang fenomenal adalah ketika seorang gadis remaja bernama Malala Yousafzai yang aktif mrnyerukan hak pendidikan bagi anak perempuan di Pakistan ditembak kepala dan lehernya oleh kelompok radikal Taliban. Mereka menganggap bahwa wanita tidak berhak atas pendidikan dan aktifitas di luar rumah. Salah satu contohnya lagi,  seorang perempuan dibunuh oleh kakak laki-lakinya sendiri karena sering mengunggah foto selfienya ke media sosial. Banyak lagi kasus intoleransi beragama di Pakistan.
Anehnya, belakangan ini di Indonesia marak kasus intoleransi dalam beragama, terutama gerakan beberapa gelintir umat Islam yang merasa modernitas telah menyudutkan agama Islam. Kasus semacam di Pakistan sudah mulai banyak terlihat di Indonesia. Padahal, prnsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila sudah dengan gamblang menjelaskan pentingnya toleransi. Utamanya toleransi beragama. Jika benar gerakan beberapa gelintir umat Islam tersebut mencontoh gerakan kelompok radikal Taliban, apakah Indonesia mampu? Perlukah Indonesia berubah menjadi Indonistan?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar