Sejarah panjang kelahiran Indonesia di bumi Nusantara ini tidak lain dan
tidak bukan adalah jerih payah pahlawan perjuangan. Pencetak sejarah penting
dibacakannya teks proklamasi oleh beliau bapak Soekarno, teriakan kemerdekaan
dari segenap rakyat Indonesia, terbentuknya sang garuda sebagai lambang negara,
terbangnya bendera merah putih di angkasa dan tersusunnya teks pondasi negara
Indonesia Pancasila adalah jasa para pejuang.
Bulan Oktober diyakini
seluruh umat Indonesia sebagai hari kesaktian pancasila. Pancasila disusun
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mulanya, nama pancasila adalah piagam
Jakarta. Oleh karena banyaknya nego dan buah pikiran lain, akhirnya
kesepakatan perubahan nama menjadi “pancasila” disepakati.
Tidak hanya perubahan
nama, sila pertama pancasila juga masih menjadi sorotan publik. Sila pertama
yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya” dipandang hanya dilihat dari sisi demografis. Jika
dilihat dari sisi geografis seperti Indonesia Timur, maka komposisinya berbeda.
Intinya, sila pertama dianjurkan untuk tidak terlalu beratmosefer Islam. Tidak
bisa dipungkiri Indonesia adalah sebuah gugusan kepulauan Sabang sampai Merauke
yang tidak bisa menghakimi kepercayaan seenak jidatnya sendiri. Jadilah
diambil keputusan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Harapan dan doa sila
pertama dapat berkamuflase dengan baik pada setiap kepercayaan.
Sangat disayangkan,
beberapa pekan ini tidak jarang didengar banyak isu berbalut agama. Hampir
segala isu yang beredar dihidangkan dengan kemasan agama yang sangat menarik.
Agama Islam juga menjadi salah satu bungkus pemanis dari beberapa
hidangan. Pasalnya, kebanyakan manusia akan membeli produk yang berbalut agama.
Konflik sara sangat laku terjual. Bermula dari politik hingga diskriminasi,
semua disajikan dalam kemasan satu produsen yaitu “agama”.
Di media sosial masih saja
gencar dikabarkan isu penistaan agama beberapa pekan lalu. Di Indonesia
sendiri, isu penistaan agama masih saja menjadi bahan perbincangan yang ramai.
Teroris pembunuh dan pemenggal kepala seperti Santoso dan Imam Samudera juga
dielu-elukan dan dianggap sebagai pahlawan agama yang konon mayatnya berbau
wangi. Sepertinya para penghafal al-Qur’an mulai mempunyai saingan, pikirku.
Nyatanya tidak hanya di
Indonesia, sebuah situs sosial media menjelaskan Pakistan adalah negara paling
mabok agama sedunia. Sebagai gambarannya, banyak terjadi peristiwa pembunuhan
yang sadis dan konyol hanya karena sikap fanatisme dalam beragama. Salah satu
yang fenomenal adalah ketika seorang gadis remaja bernama Malala Yousafzai yang
aktif mrnyerukan hak pendidikan bagi anak perempuan di Pakistan ditembak kepala
dan lehernya oleh kelompok radikal Taliban. Mereka menganggap bahwa wanita
tidak berhak atas pendidikan dan aktifitas di luar rumah. Salah satu contohnya
lagi, seorang perempuan dibunuh oleh
kakak laki-lakinya sendiri karena sering mengunggah foto selfienya ke media
sosial. Banyak lagi kasus intoleransi beragama di Pakistan.
Anehnya, belakangan ini di Indonesia marak kasus
intoleransi dalam beragama, terutama gerakan beberapa gelintir umat Islam yang merasa
modernitas telah menyudutkan agama Islam. Kasus semacam di Pakistan sudah mulai
banyak terlihat di Indonesia. Padahal, prnsip-prinsip yang terkandung dalam
Pancasila sudah dengan gamblang menjelaskan pentingnya toleransi. Utamanya
toleransi beragama. Jika benar gerakan beberapa gelintir umat Islam tersebut
mencontoh gerakan kelompok radikal Taliban, apakah Indonesia mampu? Perlukah
Indonesia berubah menjadi Indonistan?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar