gaulku gaulmu

Selasa, 05 Desember 2017

Konsep Gender (Studi Atas Q.S. an-Nisaa’: 32 Dalam Tafsir Ibn Katsir)



I. PENDAHULUAN
            Perbedaan justru seringkali mengundang permasalahan. Perbedaan yang seharusnya saling berkolaborasi justru terpisah karena permasalahan. Seperti halnya masalah gender.  Soal laki-laki dan perempuan memang sudah di takdirkan untuk  berbeda. Namun, banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut menjadi sebuah masalah.
            Permasalahan yang seringkali muncul pada saat pembahasan gender adalah ketidakadilan. Jatah laki-laki pasti selalu lebih banyak dari perempuan. Tidak dapat dipungkiri, perbedaan tersebut banyak mengundang perasaan tidak suka bahkan kecewa kepada Sang Pencipta. Nyatanya , hal demikian tidak hanya dirasakan para perempuan  jaman sekarang. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, perasaan cemburu tersebut sudah mulai bertunas. Fakta mengenai hal tersebut banyak ditemukan dalam al-Qur’an. Pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba membahas materi tentang gender dalam Q.S. An-Nisaa’ ayat 32. 

II.    PEMBAHASAN

ولاتتمنواما فضل الله به بعضكم على بعض . للرجال نصيب مما اكتسبوا. وللنساء نصيب مما اكتسبن
وسئلوا الله من فضله. ان الله كان بكل شىء عليما

 Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. an-Nisaa’: 32)
            Asbabun nuzul dari ayat di atas adalah jawaban dari pertanyaan dan pernyataan Ummu Salamah karena dia merasa Allah tidak adil dalam hal pembagian kodrat antara laki-laki dan perempuan, pernyataan tersebut di dapatkan dari kitab tafsir yang masyhur dikalangan pelajar, yakni kitab tafsir Ibn Katsir, al-Qur’an al-‘adziim[1].
            Sebelum lebih jauh membahas perihal gender, lebih baiknya kita faham terlebih dahulu dengan makna “gender”. Gender adalah konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya. Mansour Fakih berpendapat bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat sesungguhnya tidak menjadi persoalan sejauh perbedaan itu tidak menyebabkan ketidakadilan.[2]
            Gender dan kodrat adalah dua hal yang berbeda, jika kodrat adalah mutlak datang dari Allah SWT dan tidak dapat disangkal. Sedangkan gender dapat dirubah. Sebagai contoh, kodratnya perempuan adalah hamil, melahirkan, menyusui dan lain-lain. Sedangkan gender adalah suatu hal yang biasanya dilakukan perempuan namun tidak masalah jika dikerjakan oleh laki-laki.
            Banyak feminis yang mempermasalahkan gender dengan alasan:
1.      Perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki.
2.      Anggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
3.      Perempuan sebagai penyebab diturunkannya Adam dari surga.

Namun, banyak pula kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, antara lain:
1.      Sama-sama sebagai khalifah di bumi
2.      Ketaqwaan
3.      Sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kismis (adam dan hawa) (Q.S. Tahaa: 120-121)
4.      Sama-sama menerima perjanjian (Q.S. al-A’raf: 172)
5.      Sama-sama berpotensi meraih prestasi (Q.S. an-Nisaa: 32)

            Pada jaman sekarang banyak sekali feminis penggerak kesetaraan gender. Banyak yang menginginkan kesetaraan derajat laki-laki dan perempuan. Padahal jika dilihat secara teliti, Allah SWT telah menempatkan semua sesuai porsinya. Kodratnya laki-laki yaitu mencukupi kebutuhan perempuan dengan memberinya nafkah baik dzahir dan batin. Namun pada prakteknya, justru banyak laki-laki yang lepas tangan terhadap kebutuhan keluarga. Akhirnya, para perempuanlah yang harus bekerja ekstra untuk mencukupi kebutuhannya.
            Ejawentahnya, boleh saja setiap laki-laki dan perempuan menyetarakan derajat mereka karena memang gender bisa dirubah. Namun tidak dengan kodrat. Jika laki-laki memang mempunyai kodrat untuk mencukupi kebutuhan perempuan, seharusnya tetap ada bentuk nyata usaha dari pihak laki-laki. Kodrat tidak dapat dirubah.

Penjelasan Mufrodh
ولاتتمنواما : Dan janganlah kamu iri hati
فضل الله به : terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah
بعضكم على بعض : sebagian kamu atas sebagian yang lain
للرجال نصيب : (karena) bagi laki-laki ada bagian
مما اكتسبوا : dari yang diusahakan
وللنساء نصيب : (karena) bagi perempuan ada bagian
مما اكتسبن : dari yang diusahakan
وسئلوا الله : Mohonlah kepada Allah
من فضله : sebagian dari karuniaNya
ان الله : Sungguh Allah
كان بكل : ada
شىء : segala sesuatu
عليما : Maha Mengetahui

Bagian Satu
                          بعض ولاتتمنواما فضل الله به بعضكم على
a.       Imam Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata bahwa Ummu Salamah berkata “Ya Rasulullah, kaum laki-laki dapat berperang sedangkan kami tidak, dan kami pun hanya mendapat setengah bagian laki-laki dalam hal pusaka” , kemudian Allah menurunkan ayat di atas, “Dan janganlah kamu menginginkan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu yang tidak diberikan kepada sebagian yang lain”.                                                                               
b.      Hadits senada juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Mardawih dan al-Hakim dalam mustadrak-nya dari Mujahid, dia berkata bahwa Ummu Salamah berkata “Ya Rasulallah, kami tidak dapat berperang sehingga kami pun tidak dapat mati syahid dan menghabiskan  harta pusaka” kemudian Allah menurunkan ayat lain yang berkaitan yaitu:

اني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى 
Ayat yang senada juga yaitu Q.S. Ali Imran: 195, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramala di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan”.

Bagian Dua
للرجال نصيب مما اكتسبوا. وللنساء نصيب مما اكتسبن
a.       Ibnu Jarir menjelaskan maksud dari ayat di atas adalah setiap individu memiliki balasan yang sesuai dengan amal yang dikerjakannya. Jika amal itu baik, maka dibalas dengan kebaikan, jika amalnya buruk maka dibalas dengan keburukan.
b.      Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat di atas berkenaan dengan harta pusaka. Setiap orang mendapat pusaka sesuai dengan bagiannya.

Bagian Tiga
وسئلوا الله من فضله
“Mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya” yang dimaksud adalah  bahwasannya hamba Allah yang paling disukai adalah yang suka mengatasi kesulitan.

Dijelaskan pula dalam sebuah hadits yang artinya:

Diriwayatkan dari Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “Mintalah keutamaan dari Allah, sesungguhnya Allah suka dimintai, sebaik-baik ibadah adalah menunggu pertolongan (dari Allah)”

Bagian Empat
                                                                                                            ان الله كان بكل شىء عليما
Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat dunia maka Dia memberinya, siapa yang berhak kemiskinan maka Dia memiskinkannya, siapa yang berhak mendapat akhirat maka Dia menakdirkannya untuk melakukan amal-amal akhirat, dan barangsiapa berhak mendapat ketelantaraan  maka Dia menelantarkannya dengan meninggalkan kebaikan dan segala sarananya. Oleh karena itu diturunkanlah ayat di atas.

III. PENUTUP
Kesimpulan
            Pembahasan mengenai gender dalam Q.S. An-Nisaa’ ayat 32 menjelaskan bahwasannya Allah SWT menganjurkan kepada hambanya untuk tidak saling iri hati melihat karunia yang Allah berikan kepada hamba yang lain, karena sesungguhnya Allah lah yang paling tahu apa yang dibutuhkan hambanya. Selain itu Allah juga memberikan kepada hambanya sesuai apa yang diminta dan diusahakannya, karena Allah paling menyukai manusia yang suka meminta dan mengatasi kesulitan.


[1] Kitab tafsir Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim) tak lain dan tak bukan di tulis oleh seorang ulama yakni Ismail bin Katsir. Gelarnya lengkapnya yaitu Ismail bin Umar al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri ad-Dimasyqi, Imaduddin Abu al-Fida al-Hafizh al-Muhaddits asy-Syafi’i. Namun namanya lebih dikenal sebagai Ibnu Katsir. Dia lahir pada tahun 1301 M di Busra, Suriah dan wafat pada tahun 1372 M di Damaskus, Suriah. Guru pertama Ibnu Katsir adalah  Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut madzhab Syafi’i. Dia juga berguru pada Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. Menurutnya metode penafsiran yang paling tepat yakni menafsirkan  al-Qur’an dengan al-Qur’an. Jika tidak bisa, dapat ditafsirkan dengan hadits, jika tidak bisa lagi dapat ditafsirkan dengan pendapat para sahabatataupun tabi’in. Karyanya yang paling terkenal bernama Tafsir Ibnu Katsir. Kitab tafsir tersebut terdapat sebanyak 10 jilid dan masih menjadi rujukan dalam dunia Islam. Karyanya yang lain yaitu Fada’il al-Qur’an (Keutamaan al-Qur’an) yang berisi ringkasan sejarah al-Qur’an. Kitab sejarahnya yang paling terkenal adalah al-Bidayah. Ibnu Katsir meninggal dunia tidak lama setelah menyusun kitab al-Ijtihad fii Talab al-Jihad (Ijtihad dalam mencari Jihad) dan kemudian dikebumikan di samping makam gurunya, Ibnu Taimiyah. Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim tergolong tafsir bil ma’tsur (menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain atau hadits atau pendapat sahabat ataupun tabi’in) dan menurut ulama mutakhir tingkat kemasyhuran tafsirnya adalah setelah kemasyhuran Tafsir at-Thabari. Redaksinya sangat mudah dipahami karena dengan tata bahasa yang baik. Lihat, Ibnu Katsir, Software Tafsir Ibnu Katsir, muslim Dev, 2017.
[2] Asyhari, Kesetaraan Gender Menurut Nasarudin Umar dan Ratna Megawangi, Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, hlm. 10. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar