PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah aspek utama dalam kehidupan
umat Islam. Al-Qur’an membicarakan segala aspek kehidupan yang terkait dengan
kehidupan manusia. Namun, nyatanya, sebagai contoh di bidang negara dan
pemerintahan tidak ditemui nash tentang bentuk negara dan sistem politik
pemerintahan tertentu. Artinya, al-Qur’an tidak menetapkan suatu acuan tentang
bentuk negara dan sistem politik pemerintahan secara jelas bagi penganut
al-Qur’an.
Hal tersebut menimbulkan
keanekaragaman penafsiran terhadap nash-nash yang berkaitan dengan negara.
Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah politik Islam baik dalam pemikiran maupun praktik
pemerintahan, bentuk dan sistemnya sejak zaman
Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam, tetapi
beragam; mulai dari
Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute; kesultanan/keamiran yang
monarki,
hingga negara-negara bangsa yang repubik demokratis atau absolut, monarki
demokratis
dan atau absolut. Pada kesempatan kali ini, pemakalah akan membahas
pembaharuan dalam Islam dalam perspektif Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad
Abduh.
PEMBAHASAN
A. Jamaluddin Al-Afghani
Biografi
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin
pergerakan Islam pada akhir abad ke-19. Namun, dia agak berbeda dengan pemimpin
sebelumnya, Abdul Wahab dan Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi.[1]
Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M dan meninggaln dunia di
Istanbul pada tahun 1897 M. Ayahnya bernama Sayyid Sand yang lebih dikenal
dengan gelar Shadar al-Husaini ibn Ali, r.a, seorang perawi hadits. Keluarg al-Afghani
adalah bermadzhab Hanafi.[2]
Afghani
sendiri mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di antaranya adalah bahasa Arab,
yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu bayan. Ma’aninya: ilmu syari’ah, yang
melliputi tafsir, hadits dan musthalahnya. Kemudian Afghani melanjutkan ke
India selama satu tahun. Di India, al-Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern.
Dengan
bekal penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, akhirnya muncul
sosok Jamaluddin al-Afghani dengan karakternya yang khas. Afghani digambarkan
sebagai seorang yang sangat setia dengan keyakinannya dan tegar dalam
menegakkan keyakinannya tersebut. Bersikap zuhud namun cepat marah jika
kehormatan diri dan agamanya disinggung.
Meskipun
pada mulanya dia menjauhi persoalan politik Mesir, tetapi ternyata soal politik
tidak dapat ditinggalkan sama sekali. Sebab, masalah politik tersebutlah yang
memaksa dia keluar dari Mesir. Sesudah sepuluh tahun di Mesir, dengan berbagai
kiprah politiknya dia berpindah-pindah dari negeri ke negeri. Hingga akhirnya
dia meninggal di Istanbul sebagai tahanan politik pada tahun 1897.
Ide-ide Pembaharuan dan
Kegiatan Politik
Munculnya sejumlah gerakan pembaharuan dalam
Islam pada abad ke-19, bukanlah sesuatu yang tanpa sebab. Setidaknya dapat
dibedakan karena dua ha, yakni kemunduran dan kerapuhan dunia Islam di satu
pihak, dan kolonialisme barat terhadap dunia Islam di pihak lain.[3]
Harun Nasution
mengemukakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya
berdasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Pengertian
tersebut diambil dari riwayat kehidupan dan perjuangan al-Afghani.
Perpindahannya dari negeri yang satu ke negeri yang lain pastilah memberikan
kesan pada ide politiknya. Karenanya, timbullah ide untuk melepaskan umat Islam
dari kemunduran dan membawa kepada kemajuan seperti kemajuan yang dicapai oleh
Barat dengan mempelajari rahasia-rahasia kebesaran Barat.
Pemikiran
pembaharuan al-Afghani berdasarkan atas keyakinan bahwa Islam adalah agam yang
sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Jika ternyata
terdapat pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa
oleh perubahan zaman dan p.erubahan kondisi, maka penyesuaiannya dapat diperoleh
dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam yang tercantum
dalam al-Qur’an dan hadits. Untuk adanya interpretasi, diperlukan ijtihad, dan
baginya pintu ijtihad masih terbuka.
Faktor-faktor kemunduran
Islam menurut al-Afghani:
1. Umat Islam telah meninggalkan ajaran agama Islam yang sebenarnya,
dipengaruhi oleh sifat statis, kuat berpegang pada taklid, bersikap fatalistis,
telah meninggalkan akhlak tinggi dan telah melupakan ilmu pengetahuan.
2. Lemah dan kurangnya dalam bidang mencerdaskan umat, baik untuk menekuni
dasar-dasar agama maupun dalam upaya transformasi ilmu pengetahuan.
3. Pengaruh faham Jabariyah dan salah pengertian tentang qada dan qadar.
4. Salah pengertian mengenai maksud hadits Nabi yang mengatakan bahwa umat Islam
akan mengalami kemunduran akhir zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam
tidak berusaha merubah nasib mereka.
5. Lemahnya persaudaraan Islam dan terputusnya tali persaudaraan Islam tidak
hanya pada kalangan awam namun juga di kalangan ulama.
6. Penyebab yang bersifat politisi: perpecahan yang terjadi di kalangan umat
Islam, pemerintahan absolute, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang
yang tidak dipercaya, mengabaikan masalah pertahanan militerdan menyerahkan
administrasi negara kepada orang-orang yang tidak kompeten dna orang asing.
Jika para pembaharu Islam yang lain menganggap kemajuan umat Islam dapat
dicapai bersama negara Barat, berbeda dengan al-Afghani. Dia justru menganggap
Barat, terutama Inggris sebagai musuh. Menurut Afghani, Islam dalam bentuk
aslinya telah mengandung semua yang diperlukan untuk pembaharuan. Dan yang
perlu diadaptasi dari Barat hanyalah kemajuan materiilnya.
Beberapa jalan alternatif menurut al-Afghani yang dapat membawa umat Islam
kepada kemajuan:
1. Kembali kepada al-Qur’an dan Hadits
2. Membuka lebar pintu ijtihad
3. Mengganti pemerintahan otokrasi menjadi republik demokrasi
4. Perwujudan persatuan umat Islam
5. Persamaan derajat laki-laki dan perempuan
Pembaharuan yang dilakukan al-Afghani dalam
bidang pendidikan tidaklah dalam bentuk langkah-langkah nyata seperti
mendirikan sekolah-sekolah atau lembaga ilmiah lainnya. Yang dimaksud adalah
pandangannya terhadap kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam dan keharusan umat
Islam menyikapinya. Menurutnya, Islam dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang
memang harus dipelajari umat Islam. Ia juga menggugah kaum muslimin untuk
mengembangkan disiplin filosofis dan ilmiah dengan memperluas kurikulum
lembaga-lembaga pendidikan dan pembaharuan dalam Islam. Dia juga menerbitkan
majalah al-Urwah al-Wusqa bersama Muhammad Abduh, muridnya yang
bertujuan membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi
Eropa di dunia Islam. Namun, majalah ini hanya bertahan 18 kali terbit.
Latar Belakang
Kegiatan politik Afghani dan riwayat hidupnya dapat dipahami bahwa kondisi
sosial politik negara-negara yang dia kunjungi, mengharuskan dia untuk terjun
ke dalam ranah politik. Selain itu, dia juga aktif dalam gerakan Pan-Islamisme.
Pan-Islamisme yang dia maksud adalah agar umat Islam tunduk kepada al-Qur’an,
menjadikan agama sebagai petunjuk dalam persatuan dan pembelaan terhadap negara
Islam yang lain.
B. Muhammad Abduh
Biografi
Muhammad
Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di Mesir yang hidup pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya
adalah orang desa biasa yang tidak
mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ia lahir di
suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan
di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal
dari bangsa Arab yang silsilahnya
meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab.[4]
Muhammad
Abduh di suruh belajar menulis dan membaca. Setelah mahir, ia diserahkan kepada
satu guru untuk dilatih menghafal Al-Qur'an. Hanya dalam
masa dua tahun, ia dapat menghafal
Al-Qur'an secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia
merasa tidak mengerti apa-apa karena
di sana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajaran dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai
petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun)
iapun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar
ke Tanta. Iapun
pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk
belajar, maka ia selalu membujuk pemuda
itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduhpun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Tahun 1879, Abduh dibuang keluar
kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam
mengadakan
gerakan Khadowi Taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi
pemerintah Mesir. Di akhir tahun 1882, Ia lagi-lagi dibuang.
Tapi kali ini dibuang ke luar negeri dan ia memutuskan pergi ke Beirut. Alasan
pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam revolusi (pemberontakan) Urabi Pasya.
Baru
setahun di Beirut, dia diundang al-Afghani supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwah al-Wusqa.
Tujuan gerakan ini adalah
membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Urwah al-Wusqa. Ide
pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan oleh
Abduh. Majalah tersebut hanya
bertahan delapan bulan dengan 18 kali terbit.
Setelah itu, ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia, ada juga yang mengatakan ke Rusia.
Sedangkan ia sendiri kembali ke
Beirut pada tahun 1885 M. di Kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di Madrasah Sultaniah dan di rumahnya
sendiri. Pelajaran tauhid yang
diberikannya di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhidnya.
Sekembalinya
dari pembuangan, di akhir tahun 1888, ia mulai aktivitasnya. Karirnya dimulai dari menjadi hakim Pengadilan Negeri kemudian menjadi
penasehat Mahkamah Tinggi. Di
sela-sela kesibukannya sebagai hakim ia berusaha memperbaiki pendidikan di
al-Azhar. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke
al-Azhar. Usahanya tidak
berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari para ulama’ yang berpegang pada tradisi lama. Tahun 1899, ia diangkat menjadi
Mufti Mesir, suatu jabatan resmi
penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Di tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi anggota majlis syura.
Sayangnya,
Muhammad Abduh tidak dapat menjalankan ibadah haji dikarenakan alasan politik.
Akhirnya, pada tanggal 11 Juli 1905 Abduh meninggal dunia setelah lama
menderita kanker hati. Ia meninggal di usia 56 tahun. Karya-karyanya berupa
artikel dan surat kabar di majalah sangat banyak, antara lain: Durus min
Al-Qur'an (Berbagai pelajarandari Al-Qur'an), Risalah al-Tauhid (Risalah
Tauhid), Hasyiyah ‘Ala Syarh al-Dawani li al-‘Aqaid al-‘Adudiyah (Komentar
terhadap Penjelasan al-Dawani terhadap Akidah-akidah yang Meleset), al-Islam
wa al-Nasraniyah (Islam dan Nasrani bersama Ilmu-ilmu Peradaban) dan lain
sebagainya.[5]
Pemikiran
Muhammad Abduh
Bidang Akidah
Menurut
Muhammad Imarah dalam bukunya “al-A’mal al-Kamilah li al-Imam
Muhammad
Abduh,” dikatakan bahwa ide-ide pembaruan teologis yang disebarkan oleh
syeikh
Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, kebebasan manusia dalam memilih
perbuatan,
kepercayaan yang kuat terhadap sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat
dominan
dalam menggunakan kebebasan.
Menurut
pendapat Muhammad Abduh bahwa, Jalan yang dipakai untuk mengetahui
Tuhan
bukanlah wahyu semata-mata melainkan akal. 15Akal dengan kekuatan yang ada
dalam
dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu, turun untuk
memperkuat
pengetahuan akal itu dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang
tak
dapat diketahui akalnya. Akal adalah “pikir yang bila
digunakan dapat mengantar eseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya,”.
Di antara kaum pembaru muslim, sayyid Ahmad Khan dan Abduh
menekankan masalah akal
dalam kaitannya dengan agama dan usahanya memperbarui masyarakat. Meskipun pertama yang muncul dalam Islam, persoalan akal yang
muncul pada abad ke-20 ini memperoleh dimensi baru karena berkembangnya
pandangan dunia ilmiyah yang baru.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Abduh berpendapat bahwa ajaran Islam didasarkan pada rasionalisme dan kekuatan akal. Melalui kekuatan
akal-lah kaum muslimin
diharapkan dapat membedakan yang benar dari yang salah, dan karenanya ini berarti mengikuti ajaran agama. Bagi Muhammad Abduh, Islam adalah agama yang rasional, agama yang
sejalan dengan akal,
bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran rasional ini menurut Abduh adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah sempurna,
bila tidak didasarkan atas
akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akal-lah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta
kemahakuasaan-Nya dan pada rasul.
Rasionalisme
yang mendasar dalam pikiran Abduh menyebabkan ia menolak taqlid
dan
menerima penafsiran (ta’wil) berdasarkan asal ketimbang menerima
terjemahan
literal
mengenai sumber-sumber agama. Pernyataan tersebut, pada dasarnya Muhammad \Abduh
mengajak kita untuk berpikir kreatif dan melarang kita berdiam diri dengan keadaan y\ang ada. Ia mengajak untuk melakukan ta’wil terhadap
nash-nash Al-Qur'an yang tidak bi\sa kita pahami. Ia juga menegaskan lewat buku-bukunya agar memisahkan pemahaman ten\\tang eksistensi dan karakter ajaran agama yang seutuhnya dengan hasil pemikiran orang-orang yang hanya mengaku dirinya
sebagai agamawan. Kelihatannya Abduh lebih berhati-hati terhadap penafsiran yang
mengadaada (tidak
rasional) terhadap agama.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, akal dapat mengetahui
beberapa hal
sebagai
berikut :
a.
Tuhan dan
sifat-sifat-Nya.
b.
Keberadaan
hidup di akhirat.
c.
Kebahagian jiwa
di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat
baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
d.
Kewajiban
manusia mengenal Tuhan.
e.
Kewajiban
manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaan
di akhirat.
f. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Kebebasan Manusia
Kepercayaan pada kekuatan akal, membawa
Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Dalam teologi
dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat
mengatakan bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak aza, sebelum ia lahir, dan faham ini dalam teologi Islam
disebut jabariah. Dalam teologi
Barat pendapat ini disebut fatalisme atau predestination. Kedua,
bahwa manusia
mempunyai kebebasan sungguh pun terbatas sesuai dengan keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Faham ini dalam Islam disebut qadariyah,
dan dalam teologi
Barat disebut free will and free act.
Dalam
“al-Urwah al-Wusqa” Muhammad Abduh bersama-sama dengan Jamaluddin
al-Afghani menjelaskan bahwa sebenarnya faham qada’ dan qadar telah
diselewengkan menjadi fatalisme, sedang paham itu sebenarnya mengandung
unsur dinamis yang membuat umat Islam di zaman Klasik dapat membawa Islam
sampai di Spanyol dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi. Paham
fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan manusia dalam
kemauan dan perbuatan.
Inilah yang menimbulkan dinamika umat Islam kembali. Namun, kebebasan tersebut
bukanlah kebebasan tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni pertama, manusia
melakukan perbuatan dengan daya dan
kemampuannya, kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi. Jadi faham yang
dipaksakan atas manusia atau Jabariah tidak sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh. Menurutnya, manusia adalah semata-mata
karena ia mempunyai
kemampuan berfikir dan kebebasan memilih, meskipun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak.
Bidang
Hukum
Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama
pemikiran Abduh, yaitu Al-Qur'an sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan
berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Ijtihad
menurut Abduh bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi yang dimaksudkan bukan tiap-tiap orang
boleh mengadakan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat untuk berijtihad. Bagi yang tidak memenuhi syaratnya, harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia
setujui fahamnya. Ijtihad ini
dijalankan langsung pada Al-Qur'an dan Hadis, sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam.
Pembaharuan
Muhammad Abduh
Reformasi Pendidikan
Muhammad
Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran
Islam dan kebangkitan
akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini. Madrasah Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha dalam satu sisi, memiliki kesamaan dengan madrasah ibnu Taimiyah (komparatif dan priorotas). Tapi di sisi lain mempunyai perbedaan:
Ia sangat rasional, mendahulukan
dalil akal sebagai dasar dari naql (nash), mendahulukan Al-Qur'an daripada Sunnah, indikasi ayat lebih utama daripada hadis al-Ahad,
mengingkari adanya naskh (penghapusan)
terhadap nash Al-Qur'an, menolak taklid dalam bermazhab tapi sangat menunjang tinggi para imam pendahulu, berupaya
mengetengahkan Islam ke alam realitas
dengan akidah dan nilai-nilai asasinya, tidak fanatis terhadap golongan dan mazhab masa lalu atau masa kini.
Muhammad
Abduh disamping sungguh-sungguh dalam usaha memperbaiki alAzhar, juga
menggerakkan dan mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya:
Jami’ah Khairiyah Islamiyah (Himpunan Sosial Islam) untuk menyiarkan pengajaran
dan pendidikan dan membantu orang yang memerlukan bantuan. Muhammad Abduh
adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang
memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal
umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar
menyerang umat muslim saat ini.
Muhammad Abduh juga mendirikan madrasah,
madrasahnya memiliki kesamaan dengan madrasah Ibnu Taimiyah, namun ada
perbedaannya: Ia sangat rasional, mendahulukan dalil akal sebagai dasar dari
naql (nash), mendahulukan Al-Qur'an daripada Sunnah, indikasi ayat lebih utama
daripada hadis al-Ahad, mengingkari adanya naskh (penghapusan) terhadap nash
Al-Qur'an, menolak taklid dalam bermazhab tapi sangat menunjang tinggi para
imam pendahulu, berupaya mengetengahkan Islam ke alam realitas dengan akidah
dan nilai-nilai asasinya, tidak fanatis terhadap golongan dan mazhab masa. lalu
atau masa kini.
Adapun pengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh
itu cukup luas, tidak saja terbatas di tanah airnya Mesir, telah menimbulkan
ulama-ulama modern seperti Mustafa al-maraghi, Mustafah Abd Raziq, Tantawi
Jauhari, Ali Abd al-Raziq dan Rasyid Ridha, pengarang-pengarang dalam bidang
agama seperti Farid Wajdi, Ahmad Amin, Qasim Amin, dan muhammad Husain Haikal,
pemimpin politik seperti Sa’ad Saghlal, Bapak kemerdekaan Mesir, dan Lutfi
al-Sayyid dan sastrawan-sastrawan Arab
seperti Taha Husain, al-Manfaluti, dan Ahmad Taimur. Namun di Indonesia tidak
menimbulkan ulama-ulama besar.
KESIMPULAN
Jammaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pembaharuan
yakni menggunakan prinsip kembali kepada al-Qur’an dan hadits. Bedanya,
Jamaluddin al-Afghani lebih kepada bidang politik sedangkan Muhammad Abduh
lebih ke dalam bidang pendidikan. Mereka
[4] Nur Laelah Abbas, “Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme dalam Islam”,
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 1, 2014, hlm. 53.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar