gaulku gaulmu

Selasa, 05 Desember 2017

Pembaharu Islam; Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh



PENDAHULUAN
            Al-Qur’an adalah aspek utama dalam kehidupan umat Islam. Al-Qur’an membicarakan segala aspek kehidupan yang terkait dengan kehidupan manusia. Namun, nyatanya, sebagai contoh di bidang negara dan pemerintahan tidak ditemui nash tentang bentuk negara dan sistem politik pemerintahan tertentu. Artinya, al-Qur’an tidak menetapkan suatu acuan tentang bentuk negara dan sistem politik pemerintahan secara jelas bagi penganut al-Qur’an.
            Hal tersebut menimbulkan keanekaragaman penafsiran terhadap nash-nash yang berkaitan dengan negara. Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah politik Islam    baik dalam pemikiran maupun praktik pemerintahan, bentuk dan sistemnya sejak zaman
Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam, tetapi beragam; mulai dari
Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute; kesultanan/keamiran yang monarki,
hingga negara-negara bangsa yang repubik demokratis atau absolut, monarki demokratis
dan atau absolut. Pada kesempatan kali ini, pemakalah akan membahas pembaharuan dalam Islam dalam perspektif Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

PEMBAHASAN
A.    Jamaluddin Al-Afghani
Biografi
            Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19. Namun, dia agak berbeda dengan pemimpin sebelumnya, Abdul Wahab dan Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi.[1] Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M dan meninggaln dunia di Istanbul pada tahun 1897 M. Ayahnya bernama Sayyid Sand yang lebih dikenal dengan gelar Shadar al-Husaini ibn Ali, r.a, seorang perawi hadits. Keluarg al-Afghani adalah bermadzhab Hanafi.[2]
            Afghani sendiri mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di antaranya adalah bahasa Arab, yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu bayan. Ma’aninya: ilmu syari’ah, yang melliputi tafsir, hadits dan musthalahnya. Kemudian Afghani melanjutkan ke India selama satu tahun. Di India, al-Afghani menekuni sejumlah ilmu  pengetahuan melalui metode modern.
            Dengan bekal penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, akhirnya muncul sosok Jamaluddin al-Afghani dengan karakternya yang khas. Afghani digambarkan sebagai seorang yang sangat setia dengan keyakinannya dan tegar dalam menegakkan keyakinannya tersebut. Bersikap zuhud namun cepat marah jika kehormatan diri dan agamanya disinggung.
            Meskipun pada mulanya dia menjauhi persoalan politik Mesir, tetapi ternyata soal politik tidak dapat ditinggalkan sama sekali. Sebab, masalah politik tersebutlah yang memaksa dia keluar dari Mesir. Sesudah sepuluh tahun di Mesir, dengan berbagai kiprah politiknya dia berpindah-pindah dari negeri ke negeri. Hingga akhirnya dia meninggal di Istanbul sebagai tahanan politik pada tahun 1897.

            Ide-ide Pembaharuan dan Kegiatan Politik
                        Munculnya sejumlah gerakan pembaharuan dalam Islam pada abad ke-19, bukanlah sesuatu yang tanpa sebab. Setidaknya dapat dibedakan karena dua ha, yakni kemunduran dan kerapuhan dunia Islam di satu pihak, dan kolonialisme barat terhadap dunia Islam di pihak lain.[3]
                        Harun Nasution mengemukakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya berdasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Pengertian tersebut diambil dari riwayat kehidupan dan perjuangan al-Afghani. Perpindahannya dari negeri yang satu ke negeri yang lain pastilah memberikan kesan pada ide politiknya. Karenanya, timbullah ide untuk melepaskan umat Islam dari kemunduran dan membawa kepada kemajuan seperti kemajuan yang dicapai oleh Barat dengan mempelajari rahasia-rahasia kebesaran Barat.
                        Pemikiran pembaharuan al-Afghani berdasarkan atas keyakinan bahwa Islam adalah agam yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Jika ternyata terdapat pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa oleh perubahan zaman dan p.erubahan kondisi, maka penyesuaiannya dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadits. Untuk adanya interpretasi, diperlukan ijtihad, dan baginya pintu ijtihad masih terbuka.
                        Faktor-faktor kemunduran Islam menurut al-Afghani:
1.      Umat Islam telah meninggalkan ajaran agama Islam yang sebenarnya, dipengaruhi oleh sifat statis, kuat berpegang pada taklid, bersikap fatalistis, telah meninggalkan akhlak tinggi dan telah melupakan ilmu pengetahuan.
2.      Lemah dan kurangnya dalam bidang mencerdaskan umat, baik untuk menekuni dasar-dasar agama maupun dalam upaya transformasi ilmu pengetahuan.
3.      Pengaruh faham Jabariyah dan salah pengertian tentang qada dan qadar.
4.      Salah pengertian mengenai maksud hadits Nabi yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran akhir zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam tidak berusaha merubah nasib mereka.
5.      Lemahnya persaudaraan Islam dan terputusnya tali persaudaraan Islam tidak hanya pada kalangan awam namun juga di kalangan ulama.
6.      Penyebab yang bersifat politisi: perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam, pemerintahan absolute, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tidak dipercaya, mengabaikan masalah pertahanan militerdan menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang yang tidak kompeten dna orang asing.
Jika para pembaharu Islam yang lain menganggap kemajuan umat Islam dapat dicapai bersama negara Barat, berbeda dengan al-Afghani. Dia justru menganggap Barat, terutama Inggris sebagai musuh. Menurut Afghani, Islam dalam bentuk aslinya telah mengandung semua yang diperlukan untuk pembaharuan. Dan yang perlu diadaptasi dari Barat hanyalah kemajuan materiilnya.
Beberapa jalan alternatif menurut al-Afghani yang dapat membawa umat Islam kepada kemajuan:
1.      Kembali kepada al-Qur’an dan Hadits
2.      Membuka lebar pintu ijtihad
3.      Mengganti pemerintahan otokrasi menjadi republik demokrasi
4.      Perwujudan persatuan umat Islam
5.      Persamaan derajat laki-laki dan perempuan
Pembaharuan yang dilakukan al-Afghani dalam bidang pendidikan tidaklah dalam bentuk langkah-langkah nyata seperti mendirikan sekolah-sekolah atau lembaga ilmiah lainnya. Yang dimaksud adalah pandangannya terhadap kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam dan keharusan umat Islam menyikapinya. Menurutnya, Islam dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang memang harus dipelajari umat Islam. Ia juga menggugah kaum muslimin untuk mengembangkan disiplin filosofis dan ilmiah dengan memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan pembaharuan dalam Islam. Dia juga menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa bersama Muhammad Abduh, muridnya yang bertujuan membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Namun, majalah ini hanya bertahan 18 kali terbit.

Latar Belakang
                 Kegiatan politik Afghani dan riwayat hidupnya dapat dipahami bahwa kondisi sosial politik negara-negara yang dia kunjungi, mengharuskan dia untuk terjun ke dalam ranah politik. Selain itu, dia juga aktif dalam gerakan Pan-Islamisme. Pan-Islamisme yang dia maksud adalah agar umat Islam tunduk kepada al-Qur’an, menjadikan agama sebagai petunjuk dalam persatuan dan pembelaan terhadap negara Islam yang lain.
B.     Muhammad Abduh
Biografi
            Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di Mesir yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab.[4]
            Muhammad Abduh di suruh belajar menulis dan membaca. Setelah mahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal Al-Qur'an. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal Al-Qur'an secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena di sana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajaran dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) iapun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Iapun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduhpun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
            Tahun 1879, Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam
mengadakan gerakan Khadowi Taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir. Di akhir tahun 1882, Ia lagi-lagi dibuang. Tapi kali ini dibuang ke luar negeri dan ia memutuskan pergi ke Beirut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam revolusi (pemberontakan) Urabi Pasya.
            Baru setahun di Beirut, dia diundang al-Afghani supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwah al-Wusqa. Tujuan gerakan ini adalah membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Urwah al-Wusqa. Ide pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan delapan bulan dengan 18 kali terbit.
            Setelah itu, ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia, ada juga yang mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M. di Kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di Madrasah Sultaniah dan di rumahnya sendiri. Pelajaran tauhid yang diberikannya di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhidnya.
            Sekembalinya dari pembuangan, di akhir tahun 1888, ia mulai aktivitasnya. Karirnya dimulai dari menjadi hakim Pengadilan Negeri kemudian menjadi penasehat Mahkamah Tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim ia berusaha memperbaiki pendidikan di al-Azhar. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke al-Azhar. Usahanya tidak berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari para ulama’ yang berpegang pada tradisi lama. Tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir, suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Di tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi anggota majlis syura.
            Sayangnya, Muhammad Abduh tidak dapat menjalankan ibadah haji dikarenakan alasan politik. Akhirnya, pada tanggal 11 Juli 1905 Abduh meninggal dunia setelah lama menderita kanker hati. Ia meninggal di usia 56 tahun. Karya-karyanya berupa artikel dan surat kabar di majalah sangat banyak, antara lain: Durus min Al-Qur'an (Berbagai pelajarandari Al-Qur'an), Risalah al-Tauhid (Risalah Tauhid), Hasyiyah ‘Ala Syarh al-Dawani li al-‘Aqaid al-‘Adudiyah (Komentar terhadap Penjelasan al-Dawani terhadap Akidah-akidah yang Meleset), al-Islam wa al-Nasraniyah (Islam dan Nasrani bersama Ilmu-ilmu Peradaban) dan lain sebagainya.[5]
           
            Pemikiran Muhammad Abduh
                        Bidang Akidah
            Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya “al-A’mal al-Kamilah li al-Imam
Muhammad Abduh,” dikatakan bahwa ide-ide pembaruan teologis yang disebarkan oleh
syeikh Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, kebebasan manusia dalam memilih
perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat
dominan dalam menggunakan kebebasan.
            Menurut pendapat Muhammad Abduh bahwa, Jalan yang dipakai untuk mengetahui
Tuhan bukanlah wahyu semata-mata melainkan akal. 15Akal dengan kekuatan yang ada
dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu, turun untuk
memperkuat pengetahuan akal itu dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang
tak dapat diketahui akalnya. Akal adalah pikir yang bila digunakan dapat mengantar eseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya,”.
Di antara kaum pembaru muslim, sayyid Ahmad Khan dan Abduh menekankan masalah akal dalam kaitannya dengan agama dan usahanya memperbarui masyarakat. Meskipun pertama yang muncul dalam Islam, persoalan akal yang muncul pada abad ke-20 ini memperoleh dimensi baru karena berkembangnya pandangan dunia ilmiyah yang baru. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Abduh berpendapat bahwa ajaran Islam didasarkan pada rasionalisme dan kekuatan akal. Melalui kekuatan akal-lah kaum muslimin diharapkan dapat membedakan yang benar dari yang salah, dan karenanya ini berarti mengikuti ajaran agama. Bagi Muhammad Abduh, Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran rasional ini menurut Abduh adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah sempurna, bila tidak didasarkan atas akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akal-lah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan pada rasul.
            Rasionalisme yang mendasar dalam pikiran Abduh menyebabkan ia menolak taqlid
dan menerima penafsiran (ta’wil) berdasarkan asal ketimbang menerima terjemahan
literal mengenai sumber-sumber agama. Pernyataan tersebut, pada dasarnya Muhammad \Abduh mengajak kita untuk berpikir kreatif dan melarang kita berdiam diri dengan keadaan y\ang ada. Ia mengajak untuk melakukan ta’wil terhadap nash-nash Al-Qur'an yang tidak bi\sa kita pahami. Ia juga menegaskan lewat buku-bukunya agar memisahkan pemahaman ten\\tang eksistensi dan karakter ajaran agama yang seutuhnya dengan hasil pemikiran orang-orang yang hanya mengaku dirinya sebagai agamawan. Kelihatannya Abduh lebih berhati-hati terhadap penafsiran yang mengadaada (tidak rasional) terhadap agama.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, akal dapat mengetahui beberapa hal
sebagai berikut :
a.       Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
b.      Keberadaan hidup di akhirat.
c.       Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat
baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
d.      Kewajiban manusia mengenal Tuhan.
e.       Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaan di akhirat.
f.       Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

Kebebasan Manusia
            Kepercayaan pada kekuatan akal, membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Dalam teologi dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat mengatakan bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak aza, sebelum ia lahir, dan faham ini dalam teologi Islam disebut jabariah. Dalam teologi Barat pendapat ini disebut fatalisme atau predestination. Kedua, bahwa manusia mempunyai kebebasan sungguh pun terbatas sesuai dengan keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Faham ini dalam Islam disebut qadariyah, dan dalam teologi Barat disebut free will and free act.
            Dalam “al-Urwah al-Wusqa” Muhammad Abduh bersama-sama dengan Jamaluddin al-Afghani menjelaskan bahwa sebenarnya faham qada’ dan qadar telah diselewengkan menjadi fatalisme, sedang paham itu sebenarnya mengandung unsur dinamis yang membuat umat Islam di zaman Klasik dapat membawa Islam sampai di Spanyol dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi. Paham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang menimbulkan dinamika umat Islam kembali. Namun, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni pertama, manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya, kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi. Jadi faham yang dipaksakan atas manusia atau Jabariah tidak sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh. Menurutnya, manusia adalah semata-mata karena ia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan memilih, meskipun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak.
                       
                        Bidang Hukum
            Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu Al-Qur'an sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Ijtihad menurut Abduh bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi yang dimaksudkan bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad. Bagi yang tidak memenuhi syaratnya, harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui fahamnya. Ijtihad ini dijalankan langsung pada Al-Qur'an dan Hadis, sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam.

            Pembaharuan Muhammad Abduh
Reformasi Pendidikan
            Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini. Madrasah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam satu sisi, memiliki kesamaan dengan madrasah ibnu Taimiyah (komparatif dan priorotas). Tapi di sisi lain mempunyai perbedaan: Ia sangat rasional, mendahulukan dalil akal sebagai dasar dari naql (nash), mendahulukan Al-Qur'an daripada Sunnah, indikasi ayat lebih utama daripada hadis al-Ahad, mengingkari adanya naskh (penghapusan) terhadap nash Al-Qur'an, menolak taklid dalam bermazhab tapi sangat menunjang tinggi para imam pendahulu, berupaya mengetengahkan Islam ke alam realitas dengan akidah dan nilai-nilai asasinya, tidak fanatis terhadap golongan dan mazhab masa lalu atau masa kini.
            ­Muhammad Abduh disamping sungguh-sungguh dalam usaha memperbaiki alAzhar, juga menggerakkan dan mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah Khairiyah Islamiyah (Himpunan Sosial Islam) untuk menyiarkan pengajaran dan pendidikan dan membantu orang yang memerlukan bantuan. Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.
Muhammad Abduh juga mendirikan madrasah, madrasahnya memiliki kesamaan dengan madrasah Ibnu Taimiyah, namun ada perbedaannya: Ia sangat rasional, mendahulukan dalil akal sebagai dasar dari naql (nash), mendahulukan Al-Qur'an daripada Sunnah, indikasi ayat lebih utama daripada hadis al-Ahad, mengingkari adanya naskh (penghapusan) terhadap nash Al-Qur'an, menolak taklid dalam bermazhab tapi sangat menunjang tinggi para imam pendahulu, berupaya mengetengahkan Islam ke alam realitas dengan akidah dan nilai-nilai asasinya, tidak fanatis terhadap golongan dan mazhab masa. lalu atau masa kini.
Adapun pengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh itu cukup luas, tidak saja terbatas di tanah airnya Mesir, telah menimbulkan ulama-ulama modern seperti Mustafa al-maraghi, Mustafah Abd Raziq, Tantawi Jauhari, Ali Abd al-Raziq dan Rasyid Ridha, pengarang-pengarang dalam bidang agama seperti Farid Wajdi, Ahmad Amin, Qasim Amin, dan muhammad Husain Haikal, pemimpin politik seperti Sa’ad Saghlal, Bapak kemerdekaan Mesir, dan Lutfi al-Sayyid dan sastrawan-sastrawan  Arab seperti Taha Husain, al-Manfaluti, dan Ahmad Taimur. Namun di Indonesia tidak menimbulkan ulama-ulama besar.

KESIMPULAN
            Jammaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pembaharuan yakni menggunakan prinsip kembali kepada al-Qur’an dan hadits. Bedanya, Jamaluddin al-Afghani lebih kepada bidang politik sedangkan Muhammad Abduh lebih ke dalam bidang pendidikan. Mereka


[1] Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, Pustaka Panji Mas, Jakarta: 1968, hlm.30.
[2] Tim Penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1992, hlm. 62.
[3] Murtadha Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX, Jakarta, 1986, hlm. 41.
[4] Nur Laelah Abbas, “Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme dalam Islam”, Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 1, 2014, hlm. 53.
[5] Ibid, hlm. 55.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar