gaulku gaulmu

Senin, 18 September 2017

Komparasi Kitab Tafsir al-Misbah dan al-Ibris

Tafsir Al-Misbah (M. Quraish Shihab)
Biografi
            M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Dia berasal dari keturunan Arab terpelajar. Ayahnya adalah Abdurrahman Shihab, dia adalah seorang ulama tafsir dan guru besar dalam bidang tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Di samping sebagai wiraswastawan, Abdurrahman Shihab sudah aktif mengajar dan berdakwah sejak masih muda. Namun di tengah kesibukannya tersebut, dia masih selalu menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk membaca al-Qur’an dan kitab tafsir.
            Pada saat berkumpul dengan keluarga semacam  itu, sang ayah juga menjelaskan kisah-kisah dalam al-Qur’an. Tampaknya, suasana keluarga yang serba bernuansa qur’ani tersebut yang telah memotivasi dan menumbuhkan minat Quraish Shihab untuk mendalami al-Qur’an. Sampai-sampai, ketika masuk belajar di Universitas al-Azhar, dia rela mengulang setahun agar dapat melanjutkan studi di jurusan tafsir, padahal jurusan-jurusan yang lain membuka pintu yang amat lebar untuk dirinya.
            Quraish Shihab belajar sekolah dasar di kampungnya yakni Ujung Pndanng, kemudian dilanjutkan pendidikan menengah di kota Malang sembari mengaji di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah. Setelah selesai di pendidikan menengah, dia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi dan diterima di kelas II Madrasah Tsanawiyah al-Azhar. Pada tahun  1967 dia meraih gelar Lc pada fakultas Ushuludin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar. Di fakultas yang sama dia memperoleh gelar MA pada tahun 1969 dengan spesialis bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’iyah li al-Qur’an al-Karim. Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamaternya yakni Universitas al-Azhardan mendapatkan gelar doktor hanya dalam jangka waktu dua tahun yakni tahun 1982.
            Setelah kembali ke Indonesia, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuludin dan Fakultas Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di luar kampus, dia juga menduduki berbagai jabatan, antara lain yaitu sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989), serta anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). Selain itu dia juga tergabung dalam berbagai organisasi.
            Beberapa karya Quraish Shihab antara lain dia menulis di harian Pelita, dalam rubrik “Pelita Hati”, penulis tetap rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah, sebagai dewan redaksi dan penulis dalam majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama dll. Karya-karyanya yang telah dipublikasi antara lain: Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Manar, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surat al-Fatihah, Membumikan al-Qur’an, Studi Kritik Tafsir al-Manar dll.
           
Latar Belakang Penulisan
            Sebelum menulis kitab al-Misbah, Quraish Shihab telah menulis kitab sebelumnya yakni Tafsir al-Qur’an al-Karim. Karena menurutnya kitab pertamanya kurang cukup, maka akhirnya Quraish Shihab menulis kitab keduanya tersebut. Antara lain alasan atau latar belakang penulisan al-Misbah antara lain sebagai berikut:
            Al-Qur’an seharusnya  dibaca, dipahami, didalami dan diamalkan, mengingat wahyu yang pertama turun adalah perintah untuk membaca dengan perintah berulang-ulang, maka isyarat tersebut mengandung arti bahwa kitab suci tersebut semestinya diteliti dan didalami, karena dengan penelitian dan pendalaman tersebut manusia akan dapat meraih kebehagiaan sebanyak mungkin. Namun, karena kekurangan dan keterbatasan, perintah untuk meneliti dan mendalami al-Qur’an masih belum dilaksanakan.
            Selain itu, di antara muslimin masih banyak golongan yang tidak mengetahui makna dan pesan-pesan kitab suci meskipunn mereka pintar membaca dn menghafalkannya. Oleh karenanya, al-Qur’an mengibaratkan manusia yang demikian seperti “keledai yang memikul buku-buku” dalam (Q.S. Al-Jumuah: 5) atau seperti “penggembala yang memanggil binatang yang tak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta (maka sebab itu) mereka tidak mengerti” dalam (Q. S. Al-Baqarah: 171).
            Menghadapi kenyataan yang demikian, Quraish Shihab mearsa terpanggil untuk memperkenalkan al-Qur’an serta menyuguhkan pesan-pesan sesuai dengan kebutuhna dan keinginan masyarakat. Meskipun banyak kitab tafsir yang dibuat untuk menyuguhkan atau menjelaskan pesan-pesan al-Qur’an, namun karena dunia selalu berkembang dan berubah, maka penggalian atas makna dan pesan-pesan al-qur’an tersebut tetap harus dilakukan sebagai petunjuk yang sesuai dengan setiap tempat dan masa dapat dibuktikan.

Sistematika Penulisan
            Tafsir al-Misbah yang ditulis oleh M. Quraish Shihab berjumlah XV volume, mencakup keseluruhan isi al-Qur’an sebanyak 30 juz. Kitab al-Misbah pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati, Jakarta pada tahun 2000 kemudian dicetak lagi untuk kedua kalinya pada tahun 2004. Dari ke-15 volume kitab, masing-masing memiliki ketebalan halaman yang berbeda-beda dan yang dikandung pun berbeda.
            Dalam penyajian uraian tafsirnya, Quraish Shihab menggunakan tartib mushafi. Maksudnya yakni dalam penafsiran al-Qur’an dia menggunakan urutan-urutan sesuai dengan susunan ayat-ayat dalam mushaf. Ayat demi ayat, surat demi surat yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
            Di awal setiap surat sebelum menafsirkan ayat-ayatnya, Quraish Shihab terlebih dahulu memberikan penjelasan yang berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki surat yang akan ditafsirkan. Cara tersebut dia lakukan ketika hendak mengawali penafsiran pada setiap suratnya. Pengantar penafsiran tersebut memuat penjelasan-penjelasan antara lain sebagai berikut:
a.       Keterangan jumlah ayat pada surat tersebut serta tempat turunnya apakah surat Makiyah atau Madaniyah.
b.      Penjelasan berhubungan dengan nama surat tersebut.
c.       Penjelasan tentang tema sentral atau tujuan surat.
d.      Keserasian antar surat sebelum dan sesudahnya.
e.       Keterangan nomor surat berdasarkan urutan mushaf dan turunannya disertai keterangan nama-nama surat yang turun sebelum atau sesudahnya.
f.       Keterangan asbab an-nuzul surat jika surat tersebut memiliki asbab an-nuzul.
Kegunaan dari penjelasan yang diberikan oleh Quraish Shihab pada pengantar setiap surat ialah untuk memberikan kemudahan bagi para pembacanya dalam memahami tema pokok suatu surat dan poin-poin penting yang terkandung dalam surat tersebut sebelum pembaca meneliti lebih lanjut dengan membaca urutan tafsirnya.
Tahap berikutnya yang dia lakukan yakni membagi atau mengelompokkan ayat-ayat dalam suatu surat ke dalam kelompok kecil terdiri atas beberapa ayat yang dianggap memiliki keterkaitan erat. Dengan pembentukan kelompok ayat tersebut akan terbentuk  tema-tema kecil yang kemudian akan terlihat saling keterkaitan. Setelah itu, Quraish Shihab menuliskan satu atau dua ayat yang masih berkaitan dan mencantumkan terjemahan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan tulisan cetak miring.
Selanjutnya dia memberikan penjelasan tentang kata kunci-kata kunci yang terdapat dalam ayat tersebut. Tidak lupa juga dicantumkan keserasian yang terdapat dalam surat tersebut. Dan di akhir penjelasan tiap surat, Quraish Shihab selalu memberikan kesimpulan yang terdapat dalam surat tersebut. Setelah itu dia selalu mencantumkan kalimat Wa Allah A’lam sebagai penutup uraiannya di tiap surat.
Dari uraian tentang sistematika Tafsir al-Misbah di atas terlihat bahwa pad adasarnya sistematika yang digunakan Quraish Shihab sama dengan sistematika kitab-kitab tafsir yang lain. Namun salah satu keunggulan atau perbedannya yakni Quraish Shihab lebih menonjolkan penekanan pad asegi munasabah atau keserasian al-Qur’an. Dilihat dari segi jenisya, Tafsir al-Misbah dapat digolongkan ke dalam tafsir bil ma’tsur karena hampir pad asetiap penafsiran kelompok ayat selalu dicantumkan riwayat yang terkait. Namun juga bisa digolongkan tafsir bil ra’yi karena uraian-uraian yang didasarkan pada akal atau rasio juga mewarnai penafsirannya.

Metode Penafsiran
Metode penafsiran al-Qur’an beraneka ragam yakni tahlili, ijmali dan muqarin. Sedangkan Tafsir al-Misbah yakni menggunakan metode tahlili karen adalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Quraish Shihab memberikan pengertian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap ayat sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an.
Selanjutnya jika dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang ada di dalamnya, maka dapat dikatakan bahwa Quraish Shihab sekaligus menggunakan dua corak penafsiran seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu bil ma’tsur dan bil ra’yi, namun jika dilihat secara keumuman maka dapat diakatakan Tafsir al-Misbah lebih condong kepada corak bil ma’tsur, dan dari segi coraknya, tafsir termasuk adabi ijtima’i.


Sumber Penafsiran
            Dalam penyusunan kitab tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab mengemukakan sejumlah kitab tafsir yang ia gunakan, antara lain: Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj, Nazm al-Durar karya Ibrahim bin Umar al-Biqa’i, Fii Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthb, Tafsir al-Mizan karya Muhammad Husain al-Thabathaba’i, Tafsir Asma al-Husna karya al-Zajjaj, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibn Katsir serta masih banyak lainnya.[1]

Tafsir Al-Ibriz (K. H. Bisri Mustofa)
            Bisri Mustofa adalah seorang Kiai kharismatik pendiri Pondok Pesantren Raudhatu at-Thalibin Rembang Jawa Tengah. Lahir di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915. Nama kecilnya yakni Mashadi. Orangtuanya yaitu H. Zainal Mustofa dan Chodijah. Dia mulai mengganti namanya menjadi Bisri setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923.
            Pada waktu kecil, Bisri Mustof aadalah seorang anak yang malas belajar dan mengaji. Dia lebih suka bekerja untuk mencari uang. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Bisri Mustofa mau mengaji di pondok pesantrendi Pondok Pesantren Kasingan Rembang yang diasuh oleh Kiai Cholil. Selain mengaji di pesantren tersebut, dia juga mengaji di pesantren Tebuireng Jombangn asuhan K. H. Hasyim Asyari untuk memperdalam ilmunya. Kemudian Bisri juga mengaji ke Mekah pada tahun 1936.
            Para guru atau kiai dari Bisri Mustofa antara lain yaitu: K. H. Bakir, Syaikh Umar Khamdan, Syaikh Ali Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath dan Sayyid ‘Alwi Al-Maliki. Selain sebagai guru, K. H. Cholil adalah mertua Bisrikarena dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ma’rufah. Anak Bisri dengan Ma’rufah mengahsdilkan 8 orang anak.
            Setelah wafatnya Kiai Cholil, Bisri mulai aktif menagajar di pondok Kasingan Rembang. Namun tak lama pondok tersebut dihancurkan oleh Jepang dan akhirnya Bisri mendirikan pesantren lagi di Leteh Rembang dengan nama pondoknya yaitu Raudhatu at-Thalibin. Bisri adalah seorang kiai yang sibuk namun dedikasinya besar dalam pendidikan dan dia tidak pernah absen mengajar santrinya.
            Bisri Mustofa dikenal sebagai orator handa. Oleh banyak kalangan, Bisri dinilai mempunyai pemikiran yang cerdas dan moderat. Dia adalah ulama Sunni yang gigih memperjuangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dia juga menyerukan onsep amar ma’ruf nahi munkar yang didasari pada rasa solidaritas dan kepedulian sosial. Banyak hasil karya yang ditulis Bisri. Bahkan menurut Kiai Cholil, seluruh hasil karya Bisri Mustofa kira-kira jumlahnya 176 buku/kitab.
            Selain sebagai kiai, Bisri juga seorang politikus handal. Dia merupakan wakil partai NU, selain itu dia juga ditunjuk sebagai anggota MPRS dari kalangan ulama yang akhirnya mengantarkan dirinya menjadi anggota MPR dari Jawa Tengah. Ketika pemerintahan Orde Baru menerapkan penggabungan NU ke PPP, Bisri Mustofa pun akhirnya  memperjuangkan partai PPP. Dia juga masuk dalam daftar calon legislatif dari Jawa Tengah. Sayangnya ketika masa kampanye hampir tiba, pada hari Rabu, 17 Februari 1977 menjelang waktu ashar, Bisri Mustofa meninggal dunia.[2]

Latar Belakang Penulisan
            Salah satu alasan atau motivasi yang bisa dijadikan landasan dalam kepengarangan tafsir al-Ibriz sendiri adalah upaya khidmah Kiai Bisri terhadap kitab suci al-Qur’an. Selain itu, kondisi sosial keagamaan pada saat itu menunjukan bahwa umat muslim khususnya Jawa masih kesulitan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu Kiai Bisri menuliskan terjemah sekaligus tafsir al-Qur’an mengguanakn bahasa jawa yakni Jawa Pegon.
            Tafsir al-Ibriz sendiri pada dasarnya bermula dari kegiatan pengajian tafsir yang diselenggarakan Kiai Bisri setiap hari Selasa dan Jum’at. Dikatakan oleh anaknya, mulanya kegiatan meulis Kiai Bisri memberi makna pegon pada kitab kuning, oleh karen adorongan teman-temannya maka akhirnya kegiatan memberi makna tersebut ditingkatkan menjadi buku dan disebarkan ke pesantren-pesantren. Namun sebelum disebarkan, tafsir al-Ibriz tersebut ditashih dulu oleh Kiai Arwani Amin, Kiai Abu Umar, Kiai Hisyam dan Kiai Sya’rani Ahmad. Kitab tersebut selesai ditulis dan disebarkan ke masyarakat dalam bentuk 3 jilid besar yang mencakup jilid pertama (juz 1-10), jilid 2 (juz 11-20) dan jilid 3 (juz 21-30) yang totalnya 2270 lembar.

Sistematika Penulisan
            Kitab al-Ibriz merupakan salah satu karangan ulama  muslim yang mengedepankan aspek lokalitas dalam penafsirannya. Tampak pada bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa. Terdapat tiga langkah dalam menerjemahkannya antara lain:
1.      Dengan memberikan makna gandul yiatu mengartikan setiap kosakata baik secara lughawi, nahwi maupun shorof.
2.      Menafsirkan atau menerjemahkan ayat secara sekaligus. Terjemah diawali dengan penomoran sesuai dengan ayat yang diterjemahkan. Penomoran ayat terletak di awal tidak seperti pada al-Qur’an.
3.      Melengkapi terjemah dengan keterangan-keterangan tertentu yang berkaitan dengan ayat. Keterangan tersebut biasanya disebut dengan tanbih (bersifat peringatan), faidah (jika berisi pesan atau nasihat), muhimmah (berkaitan sosial keilmuan misal asbabun nuzul), qishoh (kisah) dan mujarrab  (kegiatan amaliah dan berbau mistis).
Penafsiran Bisri memperhatiakan hal berikut:
1.      Pendekatan kebahasaan yang sangat kuat.
2.      Memperhatikan asbab an-nuzul.
3.      Jika ayat tentang kisah, Bisri menceritakannya dengan amat rimci.
4.      Memperhatikan segi pengalaman kehidupan nyata dan ilmu pengetahuan.
5.      Memperhatikan Qira’ah
6.      Penafiran terhadap ayat teologi, Bisri lebih banyak menggunakan nalar dari pad aperiwayatan.
7.      Penafsirannya jarang mengutip hadits.
Metode Penafsiran
            tafsir al-Ibriz disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna ayat tersebut dapat berupa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbab al-nuzul-nya, serta keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.
            Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul, sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara ini, kedudukan dan fungsi kalimat dijelaskan detail, sehingga siapapun yang membacanya akan mengetahui bahwa lafadz ini kedudukan sebagai fi’il, fa’il, maf’ul dan lain sebagainya.
            Dari perspektif Yunan Yusuf, metode yang digunakan dalam tafsir alIbriz adalah tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ayat al-Qur’an ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut bukan ayat dengan ayat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ibriz adalah tafsir yang sangat sederhana. Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan terjemahannya. Sedang ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih dalam, diberikan keterangan secukupnya. Kadang-kadang dijumpai tafsir berdasarkan ayat al-Qur’an yang lain, hadits atau bahkan ra’yu, tetapi tidaklah dominan dan terjadi dengan makna sangat sederhana. Sedang dari pemetaan Baidan, tafsir al-Ibriz menggunakan metode analitis dalam kategori komponen eksternal. Artinya, penafsiran dilakukan melalui makna kata per-kata, selanjutnya dijelaskan makna satu ayat seutuhnya. Sedangkan untuk corak penafsirannya, Kitab tafsir al-Ibriz mempunyai kecenderungan dalam corak adabi ijtima’i, ilmi dan mistis.[3]
Sumber Penafsiran
            Dalam penulisan tafsir al-Ibriz mengambil dari sumber-sumber tafsir klasik maupun kontemporer antara lain: Tafsir Jalalain, Tafsir Baedhowi dan Tafsir Khozin. Selain itu juga kitab modern seperti Tafsir Al-Manar (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha), Tafsir Fii Zhilal al-Qur’an (Sayyid Quthb), Tafsir al-Jawahir (Jauhar Thantawi), Mahasin at-Takwin (AL-Qasimi) dan Mazaya Al-Qur’an (Abu Su’ud).[4]


[1] Lihat selengkapnya, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Kajian Atas Amtsal al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 37-38.  
[2] Fejrian Yazdajird Iwanebel, Corak Mistis dalam Penafsiran K. H. Bisri Mustofa, Rasail, Vol 1. No. 1, 2014, hlm. 25.

[3] Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir Al-Ibriz, Analisa, Vol. XVIII, No. 1, 2011, hlm. 35-36.  
[4] Fejrian Yazdajird Iwanebel, Corak Mistis dalam Penafsiran K. H. Bisri Mustofa, hlm. 28.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar