Tafsir Al-Misbah (M.
Quraish Shihab)
Biografi
M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada
tanggal 16 Februari 1944. Dia berasal dari keturunan Arab terpelajar. Ayahnya
adalah Abdurrahman Shihab, dia adalah seorang ulama tafsir dan guru besar dalam
bidang tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Di samping sebagai
wiraswastawan, Abdurrahman Shihab sudah aktif mengajar dan berdakwah sejak
masih muda. Namun di tengah kesibukannya tersebut, dia masih selalu
menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk membaca al-Qur’an dan kitab
tafsir.
Pada saat berkumpul dengan keluarga semacam itu, sang ayah juga menjelaskan kisah-kisah
dalam al-Qur’an. Tampaknya, suasana keluarga yang serba bernuansa qur’ani
tersebut yang telah memotivasi dan menumbuhkan minat Quraish Shihab untuk
mendalami al-Qur’an. Sampai-sampai, ketika masuk belajar di Universitas
al-Azhar, dia rela mengulang setahun agar dapat melanjutkan studi di jurusan
tafsir, padahal jurusan-jurusan yang lain membuka pintu yang amat lebar untuk
dirinya.
Quraish Shihab belajar sekolah dasar di kampungnya yakni
Ujung Pndanng, kemudian dilanjutkan pendidikan menengah di kota Malang sembari
mengaji di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah. Setelah selesai di
pendidikan menengah, dia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi dan
diterima di kelas II Madrasah Tsanawiyah al-Azhar. Pada tahun 1967 dia meraih gelar Lc pada fakultas
Ushuludin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar. Di fakultas yang sama
dia memperoleh gelar MA pada tahun 1969 dengan spesialis bidang tafsir
al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’iyah li al-Qur’an
al-Karim. Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikan di almamaternya yakni Universitas al-Azhardan mendapatkan gelar
doktor hanya dalam jangka waktu dua tahun yakni tahun 1982.
Setelah kembali ke Indonesia, Quraish Shihab ditugaskan
di Fakultas Ushuludin dan Fakultas Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Di luar kampus, dia juga menduduki berbagai jabatan, antara lain yaitu
sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah
Pentashih al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989), serta anggota Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). Selain itu dia juga tergabung
dalam berbagai organisasi.
Beberapa karya Quraish Shihab antara lain dia menulis di
harian Pelita, dalam rubrik “Pelita Hati”, penulis tetap rubrik “Tafsir
al-Amanah” dalam majalah Amanah, sebagai dewan redaksi dan penulis dalam
majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama dll. Karya-karyanya yang
telah dipublikasi antara lain: Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Manar, Filsafat
Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surat al-Fatihah, Membumikan
al-Qur’an, Studi Kritik Tafsir al-Manar dll.
Latar Belakang Penulisan
Sebelum
menulis kitab al-Misbah, Quraish Shihab telah menulis kitab sebelumnya
yakni Tafsir al-Qur’an al-Karim. Karena menurutnya kitab pertamanya
kurang cukup, maka akhirnya Quraish Shihab menulis kitab keduanya tersebut. Antara
lain alasan atau latar belakang penulisan al-Misbah antara lain sebagai
berikut:
Al-Qur’an seharusnya
dibaca, dipahami, didalami dan diamalkan, mengingat wahyu yang pertama
turun adalah perintah untuk membaca dengan perintah berulang-ulang, maka
isyarat tersebut mengandung arti bahwa kitab suci tersebut semestinya diteliti
dan didalami, karena dengan penelitian dan pendalaman tersebut manusia akan
dapat meraih kebehagiaan sebanyak mungkin. Namun, karena kekurangan dan
keterbatasan, perintah untuk meneliti dan mendalami al-Qur’an masih belum
dilaksanakan.
Selain itu, di antara muslimin masih banyak golongan yang
tidak mengetahui makna dan pesan-pesan kitab suci meskipunn mereka pintar
membaca dn menghafalkannya. Oleh karenanya, al-Qur’an mengibaratkan manusia
yang demikian seperti “keledai yang memikul buku-buku” dalam (Q.S. Al-Jumuah:
5) atau seperti “penggembala yang memanggil binatang yang tak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta (maka sebab itu) mereka
tidak mengerti” dalam (Q. S. Al-Baqarah: 171).
Menghadapi kenyataan yang demikian, Quraish Shihab mearsa
terpanggil untuk memperkenalkan al-Qur’an serta menyuguhkan pesan-pesan sesuai
dengan kebutuhna dan keinginan masyarakat. Meskipun banyak kitab tafsir yang
dibuat untuk menyuguhkan atau menjelaskan pesan-pesan al-Qur’an, namun karena
dunia selalu berkembang dan berubah, maka penggalian atas makna dan pesan-pesan
al-qur’an tersebut tetap harus dilakukan sebagai petunjuk yang sesuai dengan
setiap tempat dan masa dapat dibuktikan.
Sistematika Penulisan
Tafsir al-Misbah yang ditulis oleh M. Quraish Shihab
berjumlah XV volume, mencakup keseluruhan isi al-Qur’an sebanyak 30 juz. Kitab al-Misbah
pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati, Jakarta pada tahun
2000 kemudian dicetak lagi untuk kedua kalinya pada tahun 2004. Dari ke-15
volume kitab, masing-masing memiliki ketebalan halaman yang berbeda-beda dan
yang dikandung pun berbeda.
Dalam penyajian uraian tafsirnya, Quraish Shihab
menggunakan tartib mushafi. Maksudnya yakni dalam penafsiran al-Qur’an
dia menggunakan urutan-urutan sesuai dengan susunan ayat-ayat dalam mushaf.
Ayat demi ayat, surat demi surat yang dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Nas.
Di awal setiap surat sebelum menafsirkan ayat-ayatnya,
Quraish Shihab terlebih dahulu memberikan penjelasan yang berfungsi sebagai
pengantar untuk memasuki surat yang akan ditafsirkan. Cara tersebut dia lakukan
ketika hendak mengawali penafsiran pada setiap suratnya. Pengantar penafsiran
tersebut memuat penjelasan-penjelasan antara lain sebagai berikut:
a.
Keterangan jumlah ayat pada surat tersebut serta tempat turunnya apakah
surat Makiyah atau Madaniyah.
b. Penjelasan berhubungan
dengan nama surat tersebut.
c. Penjelasan tentang tema
sentral atau tujuan surat.
d. Keserasian antar surat
sebelum dan sesudahnya.
e. Keterangan nomor surat
berdasarkan urutan mushaf dan turunannya disertai keterangan nama-nama surat
yang turun sebelum atau sesudahnya.
f.
Keterangan asbab an-nuzul surat jika surat tersebut memiliki asbab
an-nuzul.
Kegunaan dari
penjelasan yang diberikan oleh Quraish Shihab pada pengantar setiap surat ialah
untuk memberikan kemudahan bagi para pembacanya dalam memahami tema pokok suatu
surat dan poin-poin penting yang terkandung dalam surat tersebut sebelum
pembaca meneliti lebih lanjut dengan membaca urutan tafsirnya.
Tahap
berikutnya yang dia lakukan yakni membagi atau mengelompokkan ayat-ayat dalam
suatu surat ke dalam kelompok kecil terdiri atas beberapa ayat yang dianggap
memiliki keterkaitan erat. Dengan pembentukan kelompok ayat tersebut akan
terbentuk tema-tema kecil yang kemudian
akan terlihat saling keterkaitan. Setelah itu, Quraish Shihab menuliskan satu
atau dua ayat yang masih berkaitan dan mencantumkan terjemahan harfiah dalam
bahasa Indonesia dengan tulisan cetak miring.
Selanjutnya
dia memberikan penjelasan tentang kata kunci-kata kunci yang terdapat dalam
ayat tersebut. Tidak lupa juga dicantumkan keserasian yang terdapat dalam surat
tersebut. Dan di akhir penjelasan tiap surat, Quraish Shihab selalu memberikan
kesimpulan yang terdapat dalam surat tersebut. Setelah itu dia selalu
mencantumkan kalimat Wa Allah A’lam sebagai penutup uraiannya di tiap
surat.
Dari uraian
tentang sistematika Tafsir al-Misbah di atas terlihat bahwa pad
adasarnya sistematika yang digunakan Quraish Shihab sama dengan sistematika
kitab-kitab tafsir yang lain. Namun salah satu keunggulan atau perbedannya
yakni Quraish Shihab lebih menonjolkan penekanan pad asegi munasabah atau
keserasian al-Qur’an. Dilihat dari segi jenisya, Tafsir al-Misbah dapat
digolongkan ke dalam tafsir bil ma’tsur karena hampir pad asetiap penafsiran
kelompok ayat selalu dicantumkan riwayat yang terkait. Namun juga bisa
digolongkan tafsir bil ra’yi karena uraian-uraian yang didasarkan pada akal
atau rasio juga mewarnai penafsirannya.
Metode Penafsiran
Metode
penafsiran al-Qur’an beraneka ragam yakni tahlili, ijmali dan muqarin.
Sedangkan Tafsir al-Misbah yakni menggunakan metode tahlili karen adalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Quraish Shihab memberikan pengertian sepenuhnya
kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan
menghasilkan makna yang benar dari setiap ayat sesuai urutan bacaan yang
terdapat dalam al-Qur’an.
Selanjutnya
jika dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang ada di dalamnya,
maka dapat dikatakan bahwa Quraish Shihab sekaligus menggunakan dua corak
penafsiran seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu bil ma’tsur dan bil
ra’yi, namun jika dilihat secara keumuman maka dapat diakatakan Tafsir
al-Misbah lebih condong kepada corak bil ma’tsur, dan dari segi coraknya,
tafsir termasuk adabi ijtima’i.
Sumber Penafsiran
Dalam
penyusunan kitab tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab mengemukakan sejumlah
kitab tafsir yang ia gunakan, antara lain: Shahih al-Bukhari karya
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj, Nazm
al-Durar karya Ibrahim bin Umar al-Biqa’i, Fii Zhilal al-Qur’an karya
Sayyid Quthb, Tafsir al-Mizan karya Muhammad Husain al-Thabathaba’i, Tafsir
Asma al-Husna karya al-Zajjaj, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibn
Katsir serta masih banyak lainnya.[1]
Tafsir Al-Ibriz (K. H.
Bisri Mustofa)
Bisri Mustofa
adalah seorang Kiai kharismatik pendiri Pondok Pesantren Raudhatu at-Thalibin
Rembang Jawa Tengah. Lahir di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah
pada tahun 1915. Nama kecilnya yakni Mashadi. Orangtuanya yaitu H. Zainal
Mustofa dan Chodijah. Dia mulai mengganti namanya menjadi Bisri setelah
menunaikan ibadah haji pada tahun 1923.
Pada waktu kecil, Bisri Mustof aadalah seorang anak yang
malas belajar dan mengaji. Dia lebih suka bekerja untuk mencari uang. Namun hal
tersebut tidak berlangsung lama. Bisri Mustofa mau mengaji di pondok
pesantrendi Pondok Pesantren Kasingan Rembang yang diasuh oleh Kiai Cholil.
Selain mengaji di pesantren tersebut, dia juga mengaji di pesantren Tebuireng
Jombangn asuhan K. H. Hasyim Asyari untuk memperdalam ilmunya. Kemudian Bisri
juga mengaji ke Mekah pada tahun 1936.
Para guru atau kiai dari Bisri Mustofa antara lain yaitu:
K. H. Bakir, Syaikh Umar Khamdan, Syaikh Ali Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan
Masysyath dan Sayyid ‘Alwi Al-Maliki. Selain sebagai guru, K. H. Cholil adalah
mertua Bisrikarena dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ma’rufah. Anak Bisri
dengan Ma’rufah mengahsdilkan 8 orang anak.
Setelah wafatnya Kiai Cholil, Bisri mulai aktif menagajar
di pondok Kasingan Rembang. Namun tak lama pondok tersebut dihancurkan oleh
Jepang dan akhirnya Bisri mendirikan pesantren lagi di Leteh Rembang dengan
nama pondoknya yaitu Raudhatu at-Thalibin. Bisri adalah seorang kiai yang sibuk
namun dedikasinya besar dalam pendidikan dan dia tidak pernah absen mengajar
santrinya.
Bisri Mustofa dikenal sebagai orator handa. Oleh banyak
kalangan, Bisri dinilai mempunyai pemikiran yang cerdas dan moderat. Dia adalah
ulama Sunni yang gigih memperjuangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dia juga menyerukan
onsep amar ma’ruf nahi munkar yang didasari pada rasa solidaritas dan
kepedulian sosial. Banyak hasil karya yang ditulis Bisri. Bahkan menurut Kiai
Cholil, seluruh hasil karya Bisri Mustofa kira-kira jumlahnya 176 buku/kitab.
Selain sebagai kiai, Bisri juga seorang politikus handal.
Dia merupakan wakil partai NU, selain itu dia juga ditunjuk sebagai anggota
MPRS dari kalangan ulama yang akhirnya mengantarkan dirinya menjadi anggota MPR
dari Jawa Tengah. Ketika pemerintahan Orde Baru menerapkan penggabungan NU ke
PPP, Bisri Mustofa pun akhirnya
memperjuangkan partai PPP. Dia juga masuk dalam daftar calon legislatif
dari Jawa Tengah. Sayangnya ketika masa kampanye hampir tiba, pada hari Rabu,
17 Februari 1977 menjelang waktu ashar, Bisri Mustofa meninggal dunia.[2]
Latar Belakang Penulisan
Salah satu
alasan atau motivasi yang bisa dijadikan landasan dalam kepengarangan tafsir al-Ibriz
sendiri adalah upaya khidmah Kiai Bisri terhadap kitab suci al-Qur’an.
Selain itu, kondisi sosial keagamaan pada saat itu menunjukan bahwa umat muslim
khususnya Jawa masih kesulitan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena
itu Kiai Bisri menuliskan terjemah sekaligus tafsir al-Qur’an mengguanakn
bahasa jawa yakni Jawa Pegon.
Tafsir al-Ibriz sendiri pada dasarnya bermula dari
kegiatan pengajian tafsir yang diselenggarakan Kiai Bisri setiap hari Selasa
dan Jum’at. Dikatakan oleh anaknya, mulanya kegiatan meulis Kiai Bisri memberi
makna pegon pada kitab kuning, oleh karen adorongan teman-temannya maka
akhirnya kegiatan memberi makna tersebut ditingkatkan menjadi buku dan
disebarkan ke pesantren-pesantren. Namun sebelum disebarkan, tafsir al-Ibriz
tersebut ditashih dulu oleh Kiai Arwani Amin, Kiai Abu Umar, Kiai Hisyam
dan Kiai Sya’rani Ahmad. Kitab tersebut selesai ditulis dan disebarkan ke
masyarakat dalam bentuk 3 jilid besar yang mencakup jilid pertama (juz 1-10),
jilid 2 (juz 11-20) dan jilid 3 (juz 21-30) yang totalnya 2270 lembar.
Sistematika Penulisan
Kitab al-Ibriz
merupakan salah satu karangan ulama
muslim yang mengedepankan aspek lokalitas dalam penafsirannya. Tampak
pada bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa. Terdapat tiga langkah dalam
menerjemahkannya antara lain:
1.
Dengan memberikan makna gandul yiatu mengartikan setiap kosakata baik
secara lughawi, nahwi maupun shorof.
2. Menafsirkan atau
menerjemahkan ayat secara sekaligus. Terjemah diawali dengan penomoran sesuai
dengan ayat yang diterjemahkan. Penomoran ayat terletak di awal tidak seperti
pada al-Qur’an.
3.
Melengkapi terjemah dengan keterangan-keterangan tertentu yang berkaitan
dengan ayat. Keterangan tersebut biasanya disebut dengan tanbih (bersifat
peringatan), faidah (jika berisi pesan atau nasihat), muhimmah (berkaitan
sosial keilmuan misal asbabun nuzul), qishoh (kisah) dan mujarrab (kegiatan amaliah dan berbau mistis).
Penafsiran Bisri
memperhatiakan hal berikut:
1.
Pendekatan kebahasaan yang sangat kuat.
2. Memperhatikan asbab
an-nuzul.
3. Jika ayat tentang kisah,
Bisri menceritakannya dengan amat rimci.
4. Memperhatikan segi
pengalaman kehidupan nyata dan ilmu pengetahuan.
5. Memperhatikan Qira’ah
6. Penafiran terhadap ayat
teologi, Bisri lebih banyak menggunakan nalar dari pad aperiwayatan.
7.
Penafsirannya jarang mengutip hadits.
Metode Penafsiran
tafsir
al-Ibriz disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan
makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya disesuaikan dengan
tertib ayat mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna ayat tersebut dapat berupa
makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbab al-nuzul-nya, serta
keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.
Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul,
sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara ini,
kedudukan dan fungsi kalimat dijelaskan detail, sehingga siapapun yang
membacanya akan mengetahui bahwa lafadz ini kedudukan sebagai fi’il, fa’il,
maf’ul dan lain sebagainya.
Dari perspektif Yunan Yusuf, metode yang digunakan dalam
tafsir alIbriz adalah tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya,
ayat al-Qur’an ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut bukan ayat dengan ayat.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ibriz adalah tafsir yang sangat
sederhana. Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan
terjemahannya. Sedang ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih dalam,
diberikan keterangan secukupnya. Kadang-kadang dijumpai tafsir berdasarkan ayat
al-Qur’an yang lain, hadits atau bahkan ra’yu, tetapi tidaklah dominan dan
terjadi dengan makna sangat sederhana. Sedang dari pemetaan Baidan, tafsir
al-Ibriz menggunakan metode analitis dalam kategori komponen eksternal.
Artinya, penafsiran dilakukan melalui makna kata per-kata, selanjutnya
dijelaskan makna satu ayat seutuhnya. Sedangkan untuk corak penafsirannya, Kitab
tafsir al-Ibriz mempunyai kecenderungan dalam corak adabi ijtima’i, ilmi dan
mistis.[3]
Sumber Penafsiran
Dalam penulisan tafsir al-Ibriz mengambil dari
sumber-sumber tafsir klasik maupun kontemporer antara lain: Tafsir Jalalain,
Tafsir Baedhowi dan Tafsir Khozin. Selain itu juga kitab modern
seperti Tafsir Al-Manar (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha), Tafsir Fii
Zhilal al-Qur’an (Sayyid Quthb), Tafsir al-Jawahir (Jauhar
Thantawi), Mahasin at-Takwin (AL-Qasimi) dan Mazaya Al-Qur’an (Abu
Su’ud).[4]
[1] Lihat selengkapnya, M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah Kajian Atas Amtsal al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012,
hlm. 37-38.
[2] Fejrian Yazdajird Iwanebel, Corak
Mistis dalam Penafsiran K. H. Bisri Mustofa, Rasail, Vol 1. No. 1, 2014,
hlm. 25.
[3] Abu Rokhmad, Telaah
Karakteristik Tafsir Al-Ibriz, Analisa, Vol. XVIII, No. 1, 2011, hlm.
35-36.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar