gaulku gaulmu

Senin, 18 September 2017

Tuhan Tidak Bohong versi Mumia Fir'aun

Pendahuluan
            Orientalisme berasal dari dua kata, yakni orient dan isme. Orient artinya timur, dan isme artinya faham.[1] Di dalam orientalisme, apabila kita menyebut orient artinya ialah semua wilayah yang terbentang dari Timur Dekat sampai Timur Jauh dan juga negara Afrika Utara dan Tengah.[2] Untuk memberikan penjelasan yang lebih lengkap, seorang sarjana Turki yakni Abdul Haq Adnan Adivar menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu pengertian yang lengkap yang mana dikumpulkan pengetahuan yang berasal dari sumbernya yang asli yang berkenaan dengan bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi, ethnografi, kesasteraan dan kesenian yang berada di Timur, dalam hal ini ialah mengumpulkan pengetahuan yang berasal dari Timur, dan apabila kita melihat sejarah perkembangannya maka ternyata bahwa yang giat melakukan pengumpulan ilmu pengetahuan yang berasal dari Timur ialah orang-orang Barat, namun tekanan kepada hanya orang-orang Barat saja sudah sukar untuk dipertahankan karena ada orang-orang Timur sendiri yang ingin dimasukkan ke dalam golongan orientalisme seperti sarjana-sarjan Turki dan Filiphina.[3] Tak lain, arti kata orientalis adalah ahli keislaman atau orang yang ahli dalam bidang keislaman.
Al-Qur’an yakni kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai pedoaman dan petunjuk hidup bagi semua umat Islam. Pengertian tersebut tidak selalu sejalan, apalagi dengan kaum non-muslim. Banyak juga para orientalis yang mendalami studi tentang al-Qur’an dan bahkan mencintai Islam bermula dari penelitiannya terhadap al-Qur’an.



Biografi Maurice Bucaille
            Prof. Dr. Maurice Bucaille lahir pada tanggal 19 Juli 1920 di Pont-L’Eveque, Perancis dan berkuliah di Universitas Perancis. Maurice adalah anak dari Maurice dan Marie (James) Bucaille, keluarga Kristian Roman Khatolik. Dia adalah salah seorang doker atau ahli tokoh perobatan di Perancis sebagai ahli gastroenterologi. Dia mulai berkecimpung di dunia kedokteran mulai tahun 1945 sampai 1982. Selain menjadi dokter, Maurice juga seorang ahli dalam ikatan “Persatuan Ilmuwan Mesir Purba Perancis”. Selanjutnya pada tahun 1973, Mourice telah dilantik sebagai dokter keluarga Raja Faisal, Arab Saudi. Selain itu, Mourice juga pernah merawat ahli-ahli keluarga Presiden Mesir yakni Anwar Sadat.
            Pada tahun 1976, beliau menerbitkan 'Bible, Quran dan Sains' dan dijual berjuta-juta salinan dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Dia berhujah bahawa Al-Quran mengandungi banyak penemuan-penemuan saintifik. Pada tahun 1987, beliau menerbitkan satu lagi buku bertajuk: 'Mumia Firaun: siasatan perubatan moden. Buku-bukunya mendapat kritikan keras dari cendekiawan Barat terutama dari William F. Campbell.

Pandangan Maurice terhadap Al-Qur’an
Mourice tidak seperti para tokoh orientalis lain yang kebanyakan menaruh rasa skeptis terhadap al-Qur’an. Banyak diantara para orientalis yang tidak mempercayai al-Qur’an. Namun, Maurice sedikit berbeda. Maurice dirujuk sebagai concordism yakni mencari kesepadanan atau kesamaan antara kitab suci dengan setiap penemuan baru dalam bidang sains. Oleh karena itu, semua tentang al-Qur’an pun dia cocokan dengan segala bidang sains.
            Menurut Maurice, al-Qur’an adalah perkataan Allah SWT yang selaras dengan sains. Menurutnya, isi kandungan al-Qur’an konsisten dengan sains dan pengetahuan modern. Dia membuktikan dengan bukti kajiannya bahwasannya tentang penciptaan alam semesta, bumi, angkasa, hewan, tumbuhan, pembiakan manusia dan lain sebagainya yang dia pelajari dalam ilmu saintifik memang benar-benar ada di dalam al-Qur’an. Yang lebih mengherankan lagi, banyak kandungan dalam al-Qur’an yang mengisahkan masa lampau serta masa yang akan datang padahal al-Qur’an ada sebelum peristiwa di masa yang akan datang itu terjadi.
            Meskipun dia non-muslim, namun dia percaya akan makna kandungan al-Qur’an. Dia memaparkan bahwa al-Qur’an tidak seperti Bible ataupun Injil. Bible dan Injil menjelaskan perkara yang benar-benar bertentangan dengan isi kandungan al-Qur’an begitu pula dengan ilmu pengetahuan serta sains modern. Terutama dari segi penciptaan bumi, kemunculan manusia di bumi, cerita banjir, cerita tentang Nabi Isa yang dinyatakan oleh al-Kitab sangat melenceng dengan keilmuan sains. Berbeda dengan al-Qur’an, dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa sains dan agama adalah saudara kembar, yakni tidak ada kontradiksi antara Islam dengan sains
Maurice berpendapat bahwa Perjanjian Lama adalah tidak natural diakibatkan dari banyaknya terjemahan  dan  berbagai pembetulan. Katanya, terdapat banyak perselisihan dan pengulangan dalam Perjanjian Lama maupun Injil. Baginya Perjanjian Lama telah diputarbelitkan kerana berbagai terjemahan dan pembetulan yang telah dihantar secara lisan. Berbeda dengan al-Qur’an, meskipun disampaikan secara lisan oleh malaikat Jibril namun selama hidupnya, Muhammad telah berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkannya. Maka, Maurice berpendapat bahwa al-Qur’an masih murni dari Allah SWT.

Perbedaan dan Persamaan Al-Qur’an dengan Bible
1.      Penciptaan Langit dan Bumi
Bagi banyak pengarang Eropa, riwayat Qur'an tentang penciptaan sangat mirip dengan riwayat Bibel, dan mereka senang untuk menunjukkan dua riwayat tersebut secara paralel. Saya merasa bahwa ide semacam itu salah, karena terdapat perbedaan-perbedaan yang nyata antara dua riwayat. Dalam soal-soal yang penting dari segi ilmiah, kita dapatkan dalam Qur'an keterangan-keterangan yang tak dapat kita jumpai dalam Bibel. Dan Bibel memuat perkembangan-perkembangan yang tak ada bandingannya dalam Qur'an.
Riwayat Bibel menyebutkan secara tegas bahwa penciptaan alam itu terjadi selama enam hari dan diakhiri dengan hari istirahat, yaitu hari Sabtu, seperti hari-hari dalam satu minggu. Kita telah mengetahui bahwa cara meriwayatkan seperti ini telah dilakukan oleh para pendeta pada abad keenam sebelum Masehi, dan dimaksudkan untuk menganjurkan mempraktekkan istirahat hari Sabtu. Tiap orang Yahudi harus istirahat pada hari Sabtu sebagaimana yang dilakukan oleh Tuhan setelah bekerja selama enam hari. Jika kita mengikuti faham Bibel, kata "hari" berarti masa antara dua terbitnya matahari berturut-turut atau dua terbenamnya matahan berturut-turut. Hari yang difahami secara ini ada hubungannya dengan peredaran Bumi sekitar dirinya sendiri. Sudah terang bahwa menurut logika orang tidak dapat memakai kata "hari" dalam arti tersebut di atas pada waktu mekanisme yang menyebabkan munculnya hari, yakni adanya Bumi serta beredarnya sekitar matahari, belum terciptakan pada tahap-tahap pertama daripada penciptaan menurut riwayat Bibel. Jika kita menyelidiki kebanyakan terjemahan Qur'an, kita dapatkan, seperti yang dikatakan oleh Bibel, bahwa bagi wahyu Islam, proses penciptaan berlangsung dalam waktu enam hari. Kita tidak dapat menyalahkan penterjemah-penterjemah Qur'an karena mereka memberi arti "hari" dengan arti yang sangat lumrah.
Jika kita menyelidiki kebanyakan terjemahan Qur'an, kita dapatkan, seperti yang dikatakan oleh Bibel, bahwa bagi wahyu Islam, proses penciptaan berlangsung dalam waktu enam hari. Kita tidak dapat menyalahkan penterjemah-penterjemah Qur'an karena mereka memberi arti "hari" dengan arti yang sangat lumrah. Kita dapatkan terjemahan Q. S. Al-A’raf ayat 54: 

Artinya: "Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari."

Sedikit jumlah terjemahan atau tafsir Qur'an yang mengingatkan bahwa kata "hari" harus difahami sebagai "periode." Ada orang yang mengatakan leahwa teks Qur'an tentang penciptaan alam membagi tahap-tahap penciptaan itu dalam "hari-hari" dengan sengaja dengan maksud agar semua orang menerima hal-hal yang dipercayai oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen pada permulaan lahirnya Islam dan agar soal penciptaan tersebut tidak bentrok dengan keyakinan yang sangat tersiar luas. Dengan tidak menolak cara interpretasi seperti tersebut, apakah kita tidak dapat menyelidiki lebih dekat dan meneliti arti yang mungkin diberikan oleh Qur'an sendiri dan oleh bahasa-bahasa pada waktu tersiarnya Qur'an, yaitu kata yaum (jamaknya ayyam). Arti yang paling terpakai daripada "yaum" adalah "hari," tetapi kita harus bersikap lebih teliti. Yang dimaksudkan adalah terangnya waktu siang dan bukan waktu antara terbenamnya matahari sampai terbenamnya lagi. Kata jamak "ayyam" dapat berarti beberapa hari akan tetapi juga dapat berarti waktu yang tak terbatas, tetapi lama. Arti kata "ayyam" sebagai periode juga tersebut di tempat lain dalam Q. S. Sajdah ayat 5: "Dalam suatu hari yang panjangnya seribu tahun dari perhitungan kamu." Dalam ayat lain, surat Al-Ma'arij ayat 4, kita dapatkan: "Dalam suatu hari yang panjangnya lima puluh ribu tahun." Bahwa kata "'yaum" dapat berarti "periode" yang sangat berbeda dengan "hari" telah menarik perhatian ahli-ahli tafsir kuno yang tentu saja tidak mempunyai pengetahuan tentang tahap-tahap terjadinya alam seperti yang kita miliki sekarang.[4]
Maka Abussu'ud, ahli tafsir abad XVI M tidak dapat menggambarkan hari yang ditetapkan oleh astronomi dalam hubungannya dengan berputarnya bumi dan mengatakan bahwa untuk penciptaan alam diperlukan suatu pembagian waktu, bukan dalam "hari" yang biasa kita fahami, akan tetapi dalam "peristiwa-peristiwa" atau dalam bahasa Arabnya "naubat." Ahli-ahli tafsir modern mempergunakan lagi interpretasi tersebut. Yusuf Ali (1934) dalam tafsirnya (bahasa Inggris), selalu mengartikan "hari" dalam ayat-ayat tentang tahap-tahap penciptaan alam, sebagai periode yang panjang. Kita dapat mengakui bahwa untuk tahap-tahap penciptaan alam, Qur'an menunjukkan jarak waktu yang sangat panjang yang jumlahnya enam.
Sains modern tidak memungkinkan manusia untuk mengatakan bahwa proses kompleks yang berakhir dengan terciptanya alam dapat dihitung "enam." Tetapi Sains modern sudah menunjukkan secara formal bahwa persoalannya adalah beberapa periode yang sangat panjang, sehingga arti "hari" sebagai yang kita fahami sangat tidak sesuai.[5]
2.      Banjir
Dalam bible pengartian banjir pada zaman Nabi Nuh yakni seluruh dunia. RP. de Vaux menulis: "itu adalah dua sejarah tentang Banjir." Banjir dalam dua riwayat itu disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, dan panjangnya waktu berlangsungnya, juga berlainan. Nabi Nuh dalam dua riwayat itu juga memuatkan dalam perahu beberapa binatang yang jumlahnya juga berlainan.
Menurut pengetahuan modern, dalam keseluruhannya riwayat Banjir dalam Bibel tidak dapat diterima, karena dua sebab: Perjanjian Lama melukiskan banjir itu melanda seluruh dunia, sedangkan paragraf-paragraf daripada sumbersumber Yahwist tidak menyebutkan waktu terjadinya banjir, sedangkan riwayat Sakerdotal menyebutkan suatu waktu yang menurut sejarah banjir dunia semacam itu tidak bisa terjadi.
Qur'an menyajikan versi keseluruhan yang berlainan dan tidak menimbulkan kritik dari segi sejarah. Jika Bibel menceritakan Banjir Dunia untuk menghukum seluruh kemanusiaan yang tidak patuh, sebaliknya al-Qur'an menceritakan bermacam-macam hukuman yang dikenakan kepada kelompok-kelompok tertentu. Al-Qur’an menjelaskan siapa saja yang ada di dalam perahu Nabi Nuh, hewan sepasang (jantan dan betina), umatnya dan keluarganya serta pengecualian yakni anak Nabi Nuh. Namun, di Bibel tidak menjelaskan pengecualian tersebut.[6]

Maurice Masuk Islam (Exodus Musa)
Pada tahun 1974, untuk mengetahui sebab-sebab kematian MarenptahRamesses II dan dan mumia Mesir yang lain, penyelidikan dilakukan oleh rakan-rakan di Mesir dan mendapat kerjasama dari pakar Perancis dari berbagai disiplin ilmu perobatan yang diketuai oleh Maurice. Keputusan tentang mumia itu telah mendapat persetujuan dan pengakuan daripada Akademi Perobatan dan Persatuan Perobatan Forensik Perancis. Kemudian beliau telah menerbitkan buku berjudul Mumia Firaun: Sebuah Penelitian Perobatan Modern (judul asalnya: Les Momies des Pharaons et la Médecine)”, yang berisi tentang mumia Firaun dan obat-obatan purba. Beliau menerima peringkat Le Prix Diane Potier-Boes (Penghargaan Dalam Sejarah) oleh Académie Française dan anugerah Prix Général daripada Académie Nationale de Médecine, Perancis pada tahun 1988. Dengan buku inilah, Maurice mulai terkenal.
Maurice mulai percaya dengan al-Qur’an dan juga Islam berawal dari Mumi Fir’au tersebut. Saat dia meneliti mumi Fir’aun, dia menemukan sisa-sisa garam yang melekat di tubuh Fir’aun. Hal tersebut sejalan dengan sejarah Mati Fir’aun yang mati karena tenggelam di laut, baik berada di al-Qur’an maupun Bible. Bedanya, jika al-Qur’an menyebutkan bahwa jasad tersebut kemudian kelak akan ditemukan, sedangkan dalam Bible hanya menjelaskan tenggelamnya Fir’aun.
Awalnya dia tidak percaya dengan fakta dalam al-Qur’an yang menjelaskan mumi Fir’aun akan selamat dan kelak akan ditemukan. Maurice tidak bisa percaya karena jika dipikir menggunakan akal, itu semua tidak akan mungkin terjadi. Mengapa? Karena mumi Fir’aun baru ditemukan sekitar tahun 1898 dan tidak mungkin pula Nabi Muhammad mengetahui sejarahnya karena Muhammad lahir lama setelah Fir’aun tenggelam. Kemungkinan yang bisa diambil hanya, mumi Fir’aun ditemukan kemudian ada yang merawatnya sehingga hingga kini mumi Fir’aun masih ada (sesuai isi al-Qur’an) berbeda dengan Bible yang hanya menyatakan tenggelamnya Fir’aun.
“Air (laut) pun kembali seperti sebuah lautan yang berombak dan beralun, menenggelamkan kereta-kereta (chariot) kuda, pasukan berkuda dan seluruh bala tentera Firaun tanpa ada seorang pun yang berjaya menyelamatkan diri. Tetapi anak-anak Israel dapat menyelamatkan diri atas daratan kering di tengah-tengah laut itu”.(Exodus 14:28 dan Psalm 136:15)
Seperti yang tertera di atas bahwa Injil Matius dan Lukas hanya menceritakan tentang Firaun lemas semasa mengejar Nabi Musa tetapi tidak diceritakan nasib mayat Firaun itu.

Berbeda dengan kutipan al-Qur’an dalam Q. S. Yunus: 92

فاليوم ننجيك ببدنك لتكون لمن خلفك أية  وان كثيرا من الناس عن أيتنا لغفلون  

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badan kamu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudah kamu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami." (Q. S. Yunus: 92)
Dari ayat di atas, al-Qur’an Quran jelas menceritakan nasib Firaun yang lemas ketika mengejar kumpulan anak Israel yang dipimpin oleh Nabi Musa yang kemudian menjelaskan penyelamatan tubuh Fir’aun.


















Daftar Pustaka

Umar, A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.



[1] A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi tentang Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hal. 7.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4]  Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 162.
[5] Ibid.
[6] Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, hlm. 259. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar