Terik matahari masih
setia seperti siang-siang kemarin. Kedudukannya
sudah sedikit condong ke barat. Ku tengok jam dinding ternyata sudah jam
13.20 WIB. Segera ku raih buku tulis dan secepat kilat dia berpindah ke dalam
tas ranselku. Ku langkahkan kaki meninggalkan kamar bersama kedua sahabatku.
Kemana? Aku kuliah di salah satu sekolah tinggi swasta di Yogyakarta. “Jam
pertama mata kuliah Pengantar Studi Islam di ruang mana ya?” tanya Ami. “Di
ruang satu” jawabku tukas seraya bergegas.
Ruang kelas 1 berada di paling pojok, ujung timur gedung.
Jam pertama di semester pertama untuk hari ini adalah mata kuliah Pengantar
Studi Islam. Cerita dari kakak tingkat, dosen yang akan mengampu mata kuliah
ini adalah dosen favorite. Beliau lulusan Malaysia, Ph.D. “Dosennya laki-laki
tampan”. Kalimat itu yang aku ingat. Kata kakak tingkat.
Tidak lama kami masuk ke dalam ruangan, sosok dosen yang
ramai dibicarakan pun segera hadir. Memang benar aura yang ditampakkan. Dia
pasti orang hebat, pikirku setelah ku perhatikan seluruhnya, dari peci hingga
ujung kaki. Lha wong, tepat ada di depan mataku. Tidak bosan memang ku
tatap wajahnya. Ramah, santun dan segala keteguhan rasanya aku dapati pada
dirinya. Ah, sudahlah, pikirku sambil ku lempar pandangan ke obyek lain.
Seperti dosen lainnya dan seperti sewajarnya orang yang
baru ketemu, perkenalan pun berlangsung. Ah, sayangnya kita masih percaya
peribahasa “Tak kenal maka tak sayang”. Tapi, aku pikir-pikir, seharusnya
peribahasa yang berlaku “tak kenal maka tak tahu”, karena yang sudah kenal juga
belum tentu sayang kan, hehehe. Perkenalan dan basa-basi pun berakhir
setelah memakan waktu kurang lebih lima belas menit.
“Hari ini adalah hari pertama kalian bertemu saya dan
hari pertama pula kalian mengenal mata kuliah Pengantar Studi Islam” jelas pak
dosen. Kami yang mahasiswa bau kencur hanya manggut-manggut. “Secara harfiah,
tanpa saya jelaskan seharusnya kalian sudah bisa mengartikan apa isi dari
perkuliahan kita. Arti kata Pengantar Studi Islam jelas sebuah mata kuliah yang
keberadaannya bertugas sebagai jalan menuju pembelajaran apapun mengenai
Islam”. Kami terus saja manggut-manggut.
“Sebelum kita belajar lebih lanjut, ada satu pertanyaan
sederhana yang nantinya akan berkembang biak. Apa agama kalian?”. Tanpa basa-basi
kami satu kelas segera menjawab “Islam Pak”. “Apa pengertian Islam menurut
kalian?”. Seketika hening. Ada sekali dua kali yang nyeplos Islam adalah
agama yang paling lurus, Islam adalah agama Allah SWT yang di bawa oleh
Muhammad SAW dan masih banyak pengertian singkat lainnya. Pak dosen tersenyum
tipis dan melanjutkan pertanyaannya “apa pengertian agama?”. Kali ini
benar-benar hening. Satu detik, dua detik tanpa jawaban. “Dari tadi kalian
berbicara agama, tapi saya tanya pengertian agama kalian bingung?”. Rasanya aku
kesal. Kesal pada Pak dosen yang memberi pertanyaan simple tapi susah,
dan kesal juga pada diriku sendiri yang tak mampu menjawab satu kata yang
sering diucapkan.
Belum sempat kami menjawab pak dosen menambah pertanyaan
menyebalkannya itu. “Apakah orang yang tidak beragama Islam pasti masuk neraka?
Apa kalian yakin agama Islam kalian adalah agama yang akan mengantar kalian
masuk surga? Apakah kalian yakin orang yang KTPnya tidak Islam dia pasti masuk
neraka?”. Tidak hanya diam, kami tertunduk malu karena tak sanggup menjawab.
Pertanyaan aneh semacam itu terlalu susah disajikan pada kami yang baru saja
masuk semester satu. Tapi, faktanya memang mata kuliah ini sebagai pengantar.
Jika di awal saja tidak kokoh, bagaimana untuk kedepannya?
Sekitar dua menit kelas menjadi seolah tak berpenghuni.
Pak dosen melanjutkan “saya ingin kalian keluar dari agama Islam kalian”.
Sontak kami kaget. Tanpa hitungan detik banyak kalimat yang dilontarkan
teman-teman sekelas. Lagi-lagi senyum tipis itu kembali menghiasi wajah pak
dosen. “Silahkan jika ada yang ingin sms atau telpon orang tuanya untuk minta
restu keluar dari agama Islam kalian, saya kasih waktu tambahan lima belas
menit.”
Banyak sekali pertanyaan di otakku. Mungkin pemikiran
kami satu kelas sama. Pak dosen ini nyebai. Karena memang masih lugu,
beberapa teman ada yang menghubungi orang tuanya sungguhan. Tapi aku tidak.
Meskipun aku tidak tau persis apa maunya pak dosen, tapi aku yakin, kalimatnya
tersirat dan masih banyak penjabarannya. Aku hanya terdiam, berusaha
mencari-cari jawaban. Namun, ah pertanyaannya terlalu sulit. Masih banyak buku
yang harus aku baca dan masih banyak penjelasan yang harus aku pelajari. Lagi-lagi
yang datang penyesalan.
Lima belas menit pun usai. Pak dosen kembali memasuki
ruang kelas kami. Kini senyumnya semakin melebar. Ah, sulit sekali di
tafsirkan. “Bagaimana? Apakah kalian sudah sepakat untuk keluar dari agama
Islam kalian?” katanya. Aku semakin bingung dengan kalimat “agama Islam
kalian”. Sebagian menjawab sudah dan sebagian lagi masih bungkam, seolah
bingung apakah akan benar-benar keluar dari agama Islam. Yang aku pikirkan
hanya satu. Jika aku keluar dari agama Islam, lantas aku akan beragama apa? Atau
atheis?
Sekali lagi saya tanyakan. “Apakah kalian sudah
sepakat?”. Serentak kami sekelas menjawab “sudah pak !”. Jawaban kami tak lain
karena rasa penasaran yang sudah mengudara jauh, dan belum menemukan jawaban. “Sekarang
kalian resmi keluar dari agama Islam kalian, dan saya akan mengajak kalian
masuk ke dalam Islam State of Mind” dengan senyum puas pak dosen menjelaskan.
Tanpa diperintah, sontak seisi kelas bertanya “apakah
Islam State of Mind tersebut Pak? Apa bedanya dengan agama Islam yang kami
pahami selama ini”. “Pertanyaan yang bagus”, jawabnya singkat. “Ada yang mau
bertanya lagi? Kalau tidak akan saya jelaskan”. Dengan segera kami
menggelengkan kepala. “Kalian pasti berpikiran negatif terhadap saya karena
saya mengajak kalian keluar dari agama Islam kalian. Disini saya hanya ingin
mengajak kalian berpikir lebih luas, lebih menghargai perbedaan dan tidak kolot”.
Kami semakin tak mengerti dan semakin kelihatan bodoh.
Seketika kelas
hening. Pak dosen melanjutkan pembahasannya. “Banyak orang beragama Islam yang
keras kepala dan tidak mau menerima keberadaan agama lain. Padahal seharusnya
kita hidup berdampingan. Tidak selalu orang yang beragama Islam masuk surga dan
selain agama Islam masuk neraka. Tidak. Kalian dibodohi oleh lembaga, karena
“agama” hanyalah lembaga, yang terpenting adalah esensi kita terhadap Tuhan.
Apakah kita menjauhi larangannya atau malah menjalankan larangannya. Bukan
berarti juga saya menyuruh kalian masuk agama selain Islam, karena dengan Islam
kalian akan lebih mudah dekat denganNya. Tidak berarti juga agama selain Islam
adalah salah. Kalian harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
dan Tuhan mencintai kebenaran”. Kami sekelas manggut-manggut mendengarkan
penjelasannya.
“Kalau contohnya Pak?” tanya salah satu teman. “Oke,
contohnya simple saja, misal terdapat seorang muslim yang bersedekah
kepada seorang fakir kemudian dia menceritakan kebaikannya kepada orang-orang.
Di sisi lain, seorang non muslim sebut saja Bill Gate pencipta google, dia
memberi kemanfaatan kepada berjuta-juta umat dan menghabiskan banyak sekali
biaya. Apakah dia pernah meminta untuk dipuji atau menyombongkan dirinya kepada
media? Tidak bukan? Kalau kasusnya demikian, siapa yang harusnya Tuhan kasihi?”
lagi-lagi kami manggut-manggut.
“Intinya saya mengajak kalian agar lebih membuka pikiran
kalian bahwa kalian tidak selamanya benar. Mempelajari agama lain, kitab-kitab
agama lain atau mempelajari hal apapun tentang agama lain itu tidak masalah.
Yang terpenting adalah keyakinan kalian terhadap Allah SWT dan selalu menjauhi
larangannya. Tidak dengan cara memusuhi agama lain ataupun memunculkan gerakan
anti agama lain. Islam itu simple, dan Islam kalian sekarang ini adalah
Islam State of Mind. Saya rasa pertemuan kali ini cukup. Sebelum kita akhiri
mari kita membaca syahadat bersama-sama. Asyhadu alla ilaa ha illa allah wa
asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah”. “Penjelasan selanjutnya saya paparkan minggu
depan”. Kata pak dosen seraya meninggalkan kelas.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar