gaulku gaulmu

Senin, 18 September 2017

ISLAM STATE OF MIND

Terik matahari masih setia seperti siang-siang kemarin. Kedudukannya  sudah sedikit condong ke barat. Ku tengok jam dinding ternyata sudah jam 13.20 WIB. Segera ku raih buku tulis dan secepat kilat dia berpindah ke dalam tas ranselku. Ku langkahkan kaki meninggalkan kamar bersama kedua sahabatku. Kemana? Aku kuliah di salah satu sekolah tinggi swasta di Yogyakarta. “Jam pertama mata kuliah Pengantar Studi Islam di ruang mana ya?” tanya Ami. “Di ruang satu” jawabku tukas seraya bergegas.
            Ruang kelas 1 berada di paling pojok, ujung timur gedung. Jam pertama di semester pertama untuk hari ini adalah mata kuliah Pengantar Studi Islam. Cerita dari kakak tingkat, dosen yang akan mengampu mata kuliah ini adalah dosen favorite. Beliau lulusan Malaysia, Ph.D. “Dosennya laki-laki tampan”. Kalimat itu yang aku ingat. Kata kakak tingkat.
            Tidak lama kami masuk ke dalam ruangan, sosok dosen yang ramai dibicarakan pun segera hadir. Memang benar aura yang ditampakkan. Dia pasti orang hebat, pikirku setelah ku perhatikan seluruhnya, dari peci hingga ujung kaki. Lha wong, tepat ada di depan mataku. Tidak bosan memang ku tatap wajahnya. Ramah, santun dan segala keteguhan rasanya aku dapati pada dirinya. Ah, sudahlah, pikirku sambil ku lempar pandangan ke obyek lain.
            Seperti dosen lainnya dan seperti sewajarnya orang yang baru ketemu, perkenalan pun berlangsung. Ah, sayangnya kita masih percaya peribahasa “Tak kenal maka tak sayang”. Tapi, aku pikir-pikir, seharusnya peribahasa yang berlaku “tak kenal maka tak tahu”, karena yang sudah kenal juga belum tentu sayang kan, hehehe. Perkenalan dan basa-basi pun berakhir setelah memakan waktu kurang lebih lima belas menit.
            “Hari ini adalah hari pertama kalian bertemu saya dan hari pertama pula kalian mengenal mata kuliah Pengantar Studi Islam” jelas pak dosen. Kami yang mahasiswa bau kencur hanya manggut-manggut. “Secara harfiah, tanpa saya jelaskan seharusnya kalian sudah bisa mengartikan apa isi dari perkuliahan kita. Arti kata Pengantar Studi Islam jelas sebuah mata kuliah yang keberadaannya bertugas sebagai jalan menuju pembelajaran apapun mengenai Islam”. Kami terus saja manggut-manggut.
            “Sebelum kita belajar lebih lanjut, ada satu pertanyaan sederhana yang nantinya akan berkembang biak. Apa agama kalian?”. Tanpa basa-basi kami satu kelas segera menjawab “Islam Pak”. “Apa pengertian Islam menurut kalian?”. Seketika hening. Ada sekali dua kali yang nyeplos Islam adalah agama yang paling lurus, Islam adalah agama Allah SWT yang di bawa oleh Muhammad SAW dan masih banyak pengertian singkat lainnya. Pak dosen tersenyum tipis dan melanjutkan pertanyaannya “apa pengertian agama?”. Kali ini benar-benar hening. Satu detik, dua detik tanpa jawaban. “Dari tadi kalian berbicara agama, tapi saya tanya pengertian agama kalian bingung?”. Rasanya aku kesal. Kesal pada Pak dosen yang memberi pertanyaan simple tapi susah, dan kesal juga pada diriku sendiri yang tak mampu menjawab satu kata yang sering diucapkan.
            Belum sempat kami menjawab pak dosen menambah pertanyaan menyebalkannya itu. “Apakah orang yang tidak beragama Islam pasti masuk neraka? Apa kalian yakin agama Islam kalian adalah agama yang akan mengantar kalian masuk surga? Apakah kalian yakin orang yang KTPnya tidak Islam dia pasti masuk neraka?”. Tidak hanya diam, kami tertunduk malu karena tak sanggup menjawab. Pertanyaan aneh semacam itu terlalu susah disajikan pada kami yang baru saja masuk semester satu. Tapi, faktanya memang mata kuliah ini sebagai pengantar. Jika di awal saja tidak kokoh, bagaimana untuk kedepannya?
            Sekitar dua menit kelas menjadi seolah tak berpenghuni. Pak dosen melanjutkan “saya ingin kalian keluar dari agama Islam kalian”. Sontak kami kaget. Tanpa hitungan detik banyak kalimat yang dilontarkan teman-teman sekelas. Lagi-lagi senyum tipis itu kembali menghiasi wajah pak dosen. “Silahkan jika ada yang ingin sms atau telpon orang tuanya untuk minta restu keluar dari agama Islam kalian, saya kasih waktu tambahan lima belas menit.”
            Banyak sekali pertanyaan di otakku. Mungkin pemikiran kami satu kelas sama. Pak dosen ini nyebai. Karena memang masih lugu, beberapa teman ada yang menghubungi orang tuanya sungguhan. Tapi aku tidak. Meskipun aku tidak tau persis apa maunya pak dosen, tapi aku yakin, kalimatnya tersirat dan masih banyak penjabarannya. Aku hanya terdiam, berusaha mencari-cari jawaban. Namun, ah pertanyaannya terlalu sulit. Masih banyak buku yang harus aku baca dan masih banyak penjelasan yang harus aku pelajari. Lagi-lagi yang datang penyesalan.
            Lima belas menit pun usai. Pak dosen kembali memasuki ruang kelas kami. Kini senyumnya semakin melebar. Ah, sulit sekali di tafsirkan. “Bagaimana? Apakah kalian sudah sepakat untuk keluar dari agama Islam kalian?” katanya. Aku semakin bingung dengan kalimat “agama Islam kalian”. Sebagian menjawab sudah dan sebagian lagi masih bungkam, seolah bingung apakah akan benar-benar keluar dari agama Islam. Yang aku pikirkan hanya satu. Jika aku keluar dari agama Islam, lantas aku akan beragama apa? Atau atheis?
            Sekali lagi saya tanyakan. “Apakah kalian sudah sepakat?”. Serentak kami sekelas menjawab “sudah pak !”. Jawaban kami tak lain karena rasa penasaran yang sudah mengudara jauh, dan belum menemukan jawaban. “Sekarang kalian resmi keluar dari agama Islam kalian, dan saya akan mengajak kalian masuk ke dalam Islam State of Mind” dengan senyum puas pak dosen menjelaskan.
            Tanpa diperintah, sontak seisi kelas bertanya “apakah Islam State of Mind tersebut Pak? Apa bedanya dengan agama Islam yang kami pahami selama ini”. “Pertanyaan yang bagus”, jawabnya singkat. “Ada yang mau bertanya lagi? Kalau tidak akan saya jelaskan”. Dengan segera kami menggelengkan kepala. “Kalian pasti berpikiran negatif terhadap saya karena saya mengajak kalian keluar dari agama Islam kalian. Disini saya hanya ingin mengajak kalian berpikir lebih luas, lebih menghargai perbedaan dan tidak kolot”. Kami semakin tak mengerti dan semakin kelihatan bodoh.
             Seketika kelas hening. Pak dosen melanjutkan pembahasannya. “Banyak orang beragama Islam yang keras kepala dan tidak mau menerima keberadaan agama lain. Padahal seharusnya kita hidup berdampingan. Tidak selalu orang yang beragama Islam masuk surga dan selain agama Islam masuk neraka. Tidak. Kalian dibodohi oleh lembaga, karena “agama” hanyalah lembaga, yang terpenting adalah esensi kita terhadap Tuhan. Apakah kita menjauhi larangannya atau malah menjalankan larangannya. Bukan berarti juga saya menyuruh kalian masuk agama selain Islam, karena dengan Islam kalian akan lebih mudah dekat denganNya. Tidak berarti juga agama selain Islam adalah salah. Kalian harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan Tuhan mencintai kebenaran”. Kami sekelas manggut-manggut mendengarkan penjelasannya.
            “Kalau contohnya Pak?” tanya salah satu teman. “Oke, contohnya simple saja, misal terdapat seorang muslim yang bersedekah kepada seorang fakir kemudian dia menceritakan kebaikannya kepada orang-orang. Di sisi lain, seorang non muslim sebut saja Bill Gate pencipta google, dia memberi kemanfaatan kepada berjuta-juta umat dan menghabiskan banyak sekali biaya. Apakah dia pernah meminta untuk dipuji atau menyombongkan dirinya kepada media? Tidak bukan? Kalau kasusnya demikian, siapa yang harusnya Tuhan kasihi?” lagi-lagi kami manggut-manggut.

            “Intinya saya mengajak kalian agar lebih membuka pikiran kalian bahwa kalian tidak selamanya benar. Mempelajari agama lain, kitab-kitab agama lain atau mempelajari hal apapun tentang agama lain itu tidak masalah. Yang terpenting adalah keyakinan kalian terhadap Allah SWT dan selalu menjauhi larangannya. Tidak dengan cara memusuhi agama lain ataupun memunculkan gerakan anti agama lain. Islam itu simple, dan Islam kalian sekarang ini adalah Islam State of Mind. Saya rasa pertemuan kali ini cukup. Sebelum kita akhiri mari kita membaca syahadat bersama-sama. Asyhadu alla ilaa ha illa allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah”. “Penjelasan selanjutnya saya paparkan minggu depan”. Kata pak dosen seraya meninggalkan kelas.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar