gaulku gaulmu

Selasa, 05 Desember 2017

Ikuti Jejak Gus Dur Kebaikan Tanpa Judul



Sejarah panjang kelahiran Indonesia di bumi Nusantara ini tidak lain dan tidak bukan adalah jerih payah pahlawan perjuangan. Pencetak sejarah penting dibacakannya teks proklamasi oleh beliau bapak Soekarno, teriakan kemerdekaan dari segenap rakyat Indonesia, terbentuknya sang garuda sebagai lambang negara, terbangnya bendera merah putih di angkasa dan tersusunnya teks pondasi negara Indonesia adalah jasa para pejuang. Mulanya, nama pancasila adalah piagam Jakarta. Oleh karena banyaknya nego dan buah pikir lain, akhirnya kesepakatan perubahan nama menjadi “pancasila” disepakati.
            Tidak hanya perubahan nama, sila pertama pancasila juga masih menjadi sorotan publik. Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dipandang hanya dilihat dari sisi demografis. Jika dilihat dari sisi geografis seperti Indonesia Timur, maka komposisinya berbeda. Intinya, sila pertama dianjurkan untuk tidak terlalu beratmosefer Islam. Tidak bisa dipungkiri Indonesia adalah sebuah gugusan kepulauan Sabang sampai Merauke yang tidak bisa menghakimi kepercayaan seenak jidatnya sendiri. Jadilah diambil keputusan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Harapan dan doa sila pertama dapat berkamuflase dengan baik pada setiap kepercayaan.
            Sangat disayangkan, beberapa pekan ini tidak jarang didengar banyak isu berbalut agama. Hampir segala isu yang beredar dihidangkan dengan kemasan agama yang sangat menarik. Agama Islam juga menjadi salah satu bungkus pemanis dari beberapa hidangan. Pasalnya, kebanyakan manusia akan membeli produk yang berbalut agama. Konflik sara sangat laku terjual. Bermula dari politik hingga diskriminasi, semua disajikan dalam kemasan satu produsen yaitu “agama”.
            Tindak diskriminasi yang kian hari berkembang di Indonesia sejatinya penyebabnya adalah satu aspek. Kebaikan yang mulai terkikis dan riuh redam intoleransi dikumandangkan. Semua warga merasa dirinya paling hebat dan paling benar. Belas kasih dan toleransi sedikit demi sedikit memudar. Begitukah yang diajarkan Pancasila? Lantas, bagaimana dengan sila ke-3?
            Indonesia lupa kepada Ayah yang pernah merawatnya beberapa tahun silam. Dia tidak pernah mengajarkan kekerasan. Baik sesama muslim maupun non muslim. Sifat dan sikapnya seyogyanya dijadikan tolak ukur di era sekarang. Dia merangkul semua kalangan tanpa terkecuali. Mengajari kita tentang toleransi dan perdamaian seperti dalam penggalan syi’irnya.                     

Akeh kang apal Qur’an Haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dhewe gak digatekke
Yen isih kotor ati akale

Dia lah presiden ke-4 Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman ad-Dakhil yang lebih populer dengan nama Abdurrahman Wahid. Segala karya yang berkedok nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu mempunyai daya tarik tersendiri. Pesan yang dihidangkan selalu ramah lingkungan dan mudah dicerna. Penggalan syi’irnya banyak menjelaskan prinsip hidup manusia yang seyogyanya saling acuh, saling merangkul dan menebar kebaikan. Di kesempatan lain, Abdurrahman Wahid dengan gamblang mengatakan “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.
Terlahir dari lingkungan pesantren dan dididik selayaknya para santri, menjadikan Gus Dur pribadi yang sangat menghargai dan peduli. Kebaikannya tidak terhitung. Darah Kyai ternama mengalir dalam dirinya. Itulah ayahnya K.H. Wahid Hasyim dan juga kakeknya, sang pendiri NU (Nahdlatul Ulama) K.H. Hasyim Asy’ari.
Al-Qur’an kitabullah menjelaskan, kebaikan sering diungkapkan dengan kata khair, ma’ruf atau ikhsan. Pasalnya, kebaikan yang umat muslim lakukan seyogyanya bermakna ikhsan. Adalah tetap berbuat baik jika orang lain berbuat jahat dan berbuat lebih baik jika orang lain berbuat baik. Ikhsan lebih elegan dan tinggi derajatnya dari kalimat berkedok “baik” lainnya.
K.H. Abdurrahman Wahid juga mencontohkan. Dikatakan oleh salah seorang pekerjanya, Gus Dur selalu mendapat berbagai variasi surat. Hebatnya, semua surat tersebut beliau baca dan balas.Tidak sedikit surat yang isinya meminta bantuan materiil kepada Gus Dur. Tanpa meminta apresiasi dan bantuan donasi dari orang lain, Gus Dur selalu memberikan bantuan berupa duit kepada pengirim surat. Sekalipun duit yang beliau berikan adalah harta terakhirnya. Lebih menakjubkan, kebaikannya sama sekali tidak diungkapkan kepada siapapun. Satu-satunya orang yang mengetahui hal itu adalah pekerjanya yang selalu dimintai bantuan mengantarkan surat dan wesel tersebut ke kentor pos.

Pertanyaan dasarnya adalah, sanggupkah kita sebagai bangsa mengembangkan sikap meninggikan kepentingan bersama itu dan mengalahkan kepentingan pribadi para pemimpin bangsa kita? Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa adanya perbedaan (Gus Dur).

Tidak bisa diragukan. Manusia yang hidup pasti dinilai. Begitu pula Gus Dur. Banyak umat yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Sekarang mulai terlihat. Perbedaan kasta dan kepercayaan menjadi  kayu bakar yang sangat mudah terbakar. Kecethekan ilmu seseorang adalah sebab utamanya. Apakah disana masih mengalir kebaikan?
Jika sosok Gus Dur tidak bisa merubah pola pikir beberapa umat yang masih mberod, pantaskah kita mencontoh kanjeng Nabi yang jelas lebih ikhsan?. Dalam riwayat Imam Turmudzi, kanjeng Nabi Muhammad SAW memberikan wejangan: “Bertaqwalah dimanapun kalian berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan tersebut. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.            Dawuh kanjeng Nabi di atas jelas diutarakan kepada seluruh umat manusia. “Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”. Kanjeng Nabi tidak membeda-bedakan. Semua manusia pantas menikmati kebaikan. Tidak perlu memandang kasta dan kepercayaan. Toh tidak akan ada yang mengatakan “kamu keliru” saat kamu menolong wanita cantik memakai kalung salib?
Saat beliau berdakwah di Thaif, tak ada yang didapatkan kecuali hinaan dan pengusiran yang keji. Ketika kanjeng Nabi merasa dakwahnya tidak berhasil, beliau memutuskan meninggalkan Thaif. Naasnya, penduduk Thaif tidak membiarkan beliau keluar dengan aman. Justru gangguan dan lemparan batu keras menghujani kanjeng Nabi hingga tubuhnya berlumuran darah. Hebatnya, kanjeng Nabi tidak pernah membalas. Lantas, pantaskah kita sebagai umatnya menghakimi kepercayaan orang lain dengan label hitam?.

Khair an-Nas anfa’uhum Lii an-Nas.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar