Sejarah panjang kelahiran Indonesia di bumi Nusantara ini tidak lain dan
tidak bukan adalah jerih payah pahlawan perjuangan. Pencetak sejarah penting
dibacakannya teks proklamasi oleh beliau bapak Soekarno, teriakan kemerdekaan
dari segenap rakyat Indonesia, terbentuknya sang garuda sebagai lambang negara,
terbangnya bendera merah putih di angkasa dan tersusunnya teks pondasi negara
Indonesia adalah jasa para pejuang. Mulanya, nama pancasila adalah piagam Jakarta.
Oleh karena banyaknya nego dan buah pikir lain, akhirnya kesepakatan
perubahan nama menjadi “pancasila” disepakati.
Tidak hanya perubahan
nama, sila pertama pancasila juga masih menjadi sorotan publik. Sila pertama
yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya” dipandang hanya dilihat dari sisi demografis. Jika
dilihat dari sisi geografis seperti Indonesia Timur, maka komposisinya berbeda.
Intinya, sila pertama dianjurkan untuk tidak terlalu beratmosefer Islam. Tidak
bisa dipungkiri Indonesia adalah sebuah gugusan kepulauan Sabang sampai Merauke
yang tidak bisa menghakimi kepercayaan seenak jidatnya sendiri. Jadilah
diambil keputusan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Harapan dan doa sila pertama
dapat berkamuflase dengan baik pada setiap kepercayaan.
Sangat disayangkan, beberapa pekan ini tidak
jarang didengar banyak isu berbalut agama. Hampir segala isu yang beredar
dihidangkan dengan kemasan agama yang sangat menarik. Agama Islam juga menjadi
salah satu bungkus pemanis dari beberapa hidangan. Pasalnya, kebanyakan
manusia akan membeli produk yang berbalut agama. Konflik sara sangat laku
terjual. Bermula dari politik hingga diskriminasi, semua disajikan dalam
kemasan satu produsen yaitu “agama”.
Tindak diskriminasi yang kian hari berkembang
di Indonesia sejatinya penyebabnya adalah satu aspek. Kebaikan yang mulai
terkikis dan riuh redam intoleransi dikumandangkan. Semua warga merasa dirinya
paling hebat dan paling benar. Belas kasih dan toleransi sedikit demi sedikit
memudar. Begitukah yang diajarkan Pancasila? Lantas, bagaimana dengan sila
ke-3?
Indonesia lupa kepada Ayah
yang pernah merawatnya beberapa tahun silam. Dia tidak pernah mengajarkan
kekerasan. Baik sesama muslim maupun non muslim. Sifat dan sikapnya seyogyanya
dijadikan tolak ukur di era sekarang. Dia merangkul semua kalangan tanpa
terkecuali. Mengajari kita tentang toleransi dan perdamaian seperti dalam
penggalan syi’irnya.
Akeh kang apal Qur’an Haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dhewe gak digatekke
Yen isih kotor ati akale
Dia lah presiden ke-4 Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman
ad-Dakhil yang lebih populer dengan nama Abdurrahman Wahid. Segala karya yang
berkedok nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu mempunyai daya tarik
tersendiri. Pesan yang dihidangkan selalu ramah lingkungan dan mudah dicerna.
Penggalan syi’irnya banyak menjelaskan prinsip hidup manusia yang seyogyanya
saling acuh, saling merangkul dan menebar kebaikan. Di kesempatan lain,
Abdurrahman Wahid dengan gamblang mengatakan “Tidak penting apa pun agama atau
sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang
tidak pernah tanya apa agamamu”.
Terlahir dari lingkungan pesantren dan dididik selayaknya
para santri, menjadikan Gus Dur pribadi yang sangat menghargai dan peduli.
Kebaikannya tidak terhitung. Darah Kyai ternama mengalir dalam dirinya. Itulah
ayahnya K.H. Wahid Hasyim dan juga kakeknya, sang pendiri NU (Nahdlatul Ulama)
K.H. Hasyim Asy’ari.
Al-Qur’an kitabullah menjelaskan, kebaikan sering
diungkapkan dengan kata khair, ma’ruf atau ikhsan. Pasalnya,
kebaikan yang umat muslim lakukan seyogyanya bermakna ikhsan. Adalah
tetap berbuat baik jika orang lain berbuat jahat dan berbuat lebih baik jika
orang lain berbuat baik. Ikhsan lebih elegan dan tinggi derajatnya dari
kalimat berkedok “baik” lainnya.
K.H. Abdurrahman Wahid juga mencontohkan. Dikatakan oleh
salah seorang pekerjanya, Gus Dur selalu mendapat berbagai variasi surat.
Hebatnya, semua surat tersebut beliau baca dan balas.Tidak sedikit surat yang
isinya meminta bantuan materiil kepada Gus Dur. Tanpa meminta apresiasi dan
bantuan donasi dari orang lain, Gus Dur selalu memberikan bantuan berupa duit
kepada pengirim surat. Sekalipun duit yang beliau berikan adalah harta
terakhirnya. Lebih menakjubkan, kebaikannya sama sekali tidak diungkapkan
kepada siapapun. Satu-satunya orang yang mengetahui hal itu adalah pekerjanya
yang selalu dimintai bantuan mengantarkan surat dan wesel tersebut ke kentor
pos.
Pertanyaan dasarnya adalah, sanggupkah kita sebagai bangsa mengembangkan
sikap meninggikan kepentingan bersama itu dan mengalahkan kepentingan pribadi
para pemimpin bangsa kita? Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa adanya
perbedaan (Gus Dur).
Tidak bisa diragukan. Manusia yang hidup pasti dinilai.
Begitu pula Gus Dur. Banyak umat yang tidak sejalan dengan pemikirannya.
Sekarang mulai terlihat. Perbedaan kasta dan kepercayaan menjadi kayu bakar yang sangat mudah terbakar.
Kecethekan ilmu seseorang adalah sebab utamanya. Apakah disana masih
mengalir kebaikan?
Jika sosok Gus Dur tidak bisa merubah pola pikir beberapa
umat yang masih mberod, pantaskah kita mencontoh kanjeng Nabi yang jelas
lebih ikhsan?. Dalam riwayat Imam Turmudzi, kanjeng Nabi Muhammad SAW
memberikan wejangan: “Bertaqwalah dimanapun kalian berada, dan ikutilah
keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan tersebut. Dan
pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”. Dawuh
kanjeng Nabi di atas jelas diutarakan kepada seluruh umat manusia. “Dan
pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”. Kanjeng Nabi tidak
membeda-bedakan. Semua manusia pantas menikmati kebaikan. Tidak perlu memandang
kasta dan kepercayaan. Toh tidak akan ada yang mengatakan “kamu keliru”
saat kamu menolong wanita cantik memakai kalung salib?
Saat beliau berdakwah di Thaif, tak ada yang didapatkan
kecuali hinaan dan pengusiran yang keji. Ketika kanjeng Nabi merasa dakwahnya
tidak berhasil, beliau memutuskan meninggalkan Thaif. Naasnya, penduduk Thaif
tidak membiarkan beliau keluar dengan aman. Justru gangguan dan lemparan batu
keras menghujani kanjeng Nabi hingga tubuhnya berlumuran darah. Hebatnya,
kanjeng Nabi tidak pernah membalas. Lantas, pantaskah kita sebagai umatnya
menghakimi kepercayaan orang lain dengan label hitam?.
Khair an-Nas anfa’uhum Lii an-Nas.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar