Indonesia bukan negara agama tapi negara beragama. Ada enam agama yang
diakui di Indonesia, jadi akui agama yang lain. (K.H. Abdurrahman Wahid).
Adalah Abdurrahman Wahid yang kerap disapa Gus Dur. Presiden ke-4 negara
Indonesia. Peran dan prinsip keislamannya masih menjadi topik yang hangat
diperbincangkan. Pasalnya, Gus Dur adalah sosok islami yang sangat
menghargai perbedaan. Bukti nyata sebagai ejawantah yakni masih banyaknya
komunitas Gusdurian. Pemikiran dan prinsip Gus Dur seyogyanya dijadikan prinsip
keislaman masyarakat jaman sekarang.
Anehnya, di era millenial ini masih saja banyak pendapat miring tentang
Islam. Bahkan, banyak umat Islam menghakimi sesamanya. Gerakan segelintir orang
yang beranggapan bahwa modernisasi menyudutkan Islam masih saja ramai. Tidak
hanya demikian, pngikutnya pun semakin menggunung. Lebih parah lagi, kasus
pengkafiran kepada non muslim sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Islam tidak mengajarakan kebencian, kepada sesama muslim maupun non muslim.
Hidup rukun dan damai adalah sebuah prioritas. Gus Dur juga mengatakan “Tidak
penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik
untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.
Namun, di Indonesia sendiri masih banyak dijumpai kasus penindasan bahkan
pembunuhan kepada sesama umat Islam. Penyebabnya tak lain adalah kurangnya
pengetahuan seseorang tentang Islam. Pertanyaannya adalah siapa yang dibutuhkan
Indonesia pada masa-masa seperti ini?
“SANTRI”
Banyak yang mengartikan santri adalah seseorang yang bermukim di pesantren.
Namun, tidak hanya demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia (KBBI)
dijelaskan makna santri, yaitu: orang yang mendalami agama Islam, orang yang
beribadah dengan sungguh-sungguh (orang shaleh) dan orang yang mendalami
pengajiannya tentang Islam dengan berguru ke tempat yang jauh seperti halnya
pesantren.
Walau tidak sama dan sebangun dengan model ketaatan ala militer, pola
ketaatan seorang santri dengan Kiainya sedikit banyak tidak terlalu berbeda dengan ketaatan seorang
prajurit terhadap jenderalnya. Bahkan polanya lebih khas. Perintah seorang Kiai
seringkali tidak perlu disampaikan secara gamblang. Meski demikian, perintah
tersebut tetap akan ditaati oleh santri, sesuai wataknya yang sami’na wa
ata’na.
Belum lama ini, di Indonesia terdapat beberapa pihak yang berusaha
memojokkan presiden. Sikapnya yang membantah kepada pemimpin sungguh tidak seperti
pola ketaatan santri kepada Kiainya. Naasnya, segala hal kebencian kepada
pemimpin selalu dibungkus dengan kedok agama.
Indonesia jelas membutuhkan santri. Sayangnya, seiring berjalannya
reformasi, sejumlah kalangan mulai meyakini adanya penurunan kadar ketaatan
santri. Sekarang ini, santri generasi muda semakian berpikiran kritis. Saat
mendengar fatwa dan tausiyah, santri tidak lagsung mengiyakan. Santri mulai
berpikir dan banyak menyanggah.
Yang keliru, jika sanggahan tersebut berasal dari sumber yang tidak shahih.
Penyebabnya tidak lain adalah bebasnya informasi dan media masa yang kian menjamui
para santri. Hal demikian menjadi PR bagi kita semua.
Indonesia mempunyai banyak pesantren. Indonesia pun memiliki banyak santri.
Lantas, apa lagi yang perlu dipertimbangkan?. Pola dan prinsip yang dibutuhkan
sudah ada dalam diri para santri. Tugas kita hanyalah meng-upgrade mental
dan karakter santri yang mulai bobrok.
Untuk apa merdeka tanpa integritas? (Bacharuddin Jusuf Habibie).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar